Viral Wanita Mengaku Dilecehkan Saat Rapid Test di Bandara Soetta

Viral Wanita Mengaku Dilecehkan  Saat Rapid Test di Bandara Soetta
Lihat Foto
Wjtoday, Jakarta -  Seorang Wanita (LHI) mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oknum dokter, EFY, saat menjalani rapid test di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

"Sebenernya dari kemarin-kemarin mau bikin thread ini maju mundur, takut kenapa-kenapa, tapi karena laporan aku belum ada yang diproses, jadi ya sudah lapor ke netizen saja," katanya  dikutip dari akun Twitter @listongs, Jumat, 18 September 2020.

Dia menceritakan pelecehan seksual tersebut terjadi saat akan pergi ke Nias, Sumatra Utara. Dia mengaku datang lebih awal ke bandara untuk melakukan rapid test. Sebab, hasil rapid test menjadi syarat melakukan penerbangan.

"Flight-ku jam 06.00 WIB, jadi sekitar jam 04.00 WIB aku sudah sampai terminal 3 untuk melakukan rapid test. Aku test rapid-nya di tempat resmi yang sudah disediakan oleh Bandara Soetta, bukan yang dari traveloka  atau tiket.com," ujar dia.

LHI yakin hasil rapid test non-reaktif, baik antibodi Immunoglobulin M (IgM) dan Immunoglobulin G (IgG). Sebab, dia baru kembali dari Western Australia (WA) enam hari sebelumnya.

"Di WA, community case-nya sudah 0 selama berbulan-bulan. Misalpun aku kena covid-19 di Jakarta, aku mikirnya enggak mungkin antibodi aku sudah terbentuk dalam waktu enam hari," kata dia.
 
Namun, dia mengaku mendapatkan hasil reaktif setelah dilakukan rapid test oleh dokter tersebut. Dia pasrah setelah sempat tidak percaya.

"Di situ aku ya sudah pasrah, mau cancel flight juga enggak apa-apa, karena pergi ke Nias juga enggak urgen-urgen banget," tutur perempuan itu.

Anehnya, kata dia, dokter tersebut justru bertanya apakah jadi pergi atau tidak. Dia pun bingung karena hasil rapid test reaktif. Pasalnya, seseorang yang reaktif dilarang bepergian ke luar kota.

"Terus aku jawab 'lah memangnya bisa ya Pak? kan setahu saya ya kalau reaktif enggak bisa lanjut travel," tanyanya

Dokter itu kemudian menawarkan LHI mengganti hasil rapid test tersebut menjadi non-reaktif. LHI  sempat menolaknya karena dapat membahayakan orang lain. Terlebih, fasilitas kesehatan di Nias sangat minim.

"Tapi, si dokternya malah terkesan 'maksa' biar aku tetap terbang ke Nias, katanya 'enggak apa-apa mbak, terbang saja, mbak enggak apa-apa kok sebenarnya, enggak bakal menularkan ke orang-orang di sana, kalau mau tetap berangkat ini saya rapid lagi bayar saja Rp150 ribu lagi buat tes ulangnya'," ujarnya menirukan pernyataan dokter itu.
 
Akhirnya, dia menyetujui penawaran tersebut. Setelah mendapatkan hasil non-reaktif, LHI pergi dari tempat rapid test dan beranjak ke departure gate atau pintu keberangkatan.

"Ternyata si dokter itu mengejar aku lalu mengajak untuk mengobrol di tempat yang sepi. Bodohnya aku kenapa aku ngikut-ngikut saja," ucap dia.

Saat mengobrol, LHI  mengaku  diperas dokter tersebut. Dokter itu meminta imbalan atas perubahan hasil rapid test tersebut.

"Mbak, saya kan sudah bantu mbak nih, bisa lah mbak kasih berapa, saya juga sudah telepon atas sana sini, bisa lah mbak kasih. Di situ aku kaget dong, ya sudalah karena enggak mau ribet juga aku tanyain lah langsung berapa?," tuturnya

Dia mengaku akan memberikan Rp1 juta. Namun, dokter itu meminta tambah. Akhirnya, LHI menetapkan Rp1,4 juta. Uang itu ditransfer ke rekening dokter tersebut.

Sebelum mengirim uang, dia menyebut dokter itu memohon untuk tidak menyampaikan penggantian hasil rapid test itu ke orang lain. Dokter itu takut ada penumpang lain yang ingin mengubah hasil rapid test agar bisa bepergian.

"Jadi yang ngetes aku ada tiga orang, satu dokter, dua orang yang lain orang lab kayaknya," katanya
 
Selesai transfer melalui mobil banking, dokter itu tak juga pergi malah mengikutinya hingga ke tempat sepi.

"Si dokter mendekati aku, buka masker aku, mencoba untuk cium mulut aku, di situ aku benar-benar shock, enggak bisa ngapa-ngapain, cuma bisa diam, mau melawan saja enggak bisa saking hancurnya diri aku di dalam," tutur dia

Selain itu LHI mengaku menerima pelecehan seksual lainnya, payudaranya diraba oleh dokter tersebut.

"Perasaanku hancur, mau menangis sekeras-kerasnya dari dalam. Bahkan untuk teriak tolong saja enggak bisa, ingin lari dan teriak tolong tapi enggak bisa, cuma sanggup untuk menghindar dan pergi dengan alasan  flight sebentar lagi boarding," papar dia.

Lisany mengakui tidak memegang bukti dari kasus pelecehan seksual tersebut. Namun, dia mengantongi bukti chat dari dokter tersebut di aplikasi WhatsApp.

Sementara itu, Kasatreskrim Polres Bandara Soekarno Hatta Kompol Alexander Yurikho mengatakan belum ada laporan yang masuk terkait kasus pelecehan seksual tersebut. Namun, dia memastikan akan menyelidiki kasus tersebut.

"Penyelidikan akan tetap dilakukan oleh penyelidik satuan reskrim Polres Bandara Soekarno Hatta, akan tetapi lebih memudahkan proses penegakan hukum jika yang merasa menjadi korban membuat laporan secara resmi," kata Alexander.***