Tersangka Kasus Penyebaran Berita Bohong, Jumhur Hidayat Keberatan dengan Tuntutan JPU 3 Tahun Penjara

Tersangka Kasus Penyebaran Berita Bohong, Jumhur Hidayat Keberatan dengan Tuntutan JPU 3 Tahun Penjara
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Terdakwa kasus penyebaran berita bohong atau hoaks, Jumhur Hidayat, merasa keberatan atas tuntutan tiga tahun hukuman penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pentolan KAMI itu merasa, cuitannya di Twitter tidak banyak dibaca oleh orang dan tidak mempunyai dampak apa-apa.

Diketahui, Jumhur dalam cuitannya menyebut "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Dalam cuitannya, dia juga mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul “35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja”.

"Iya (keberatan) Anda bisa bayangkan sudah lihat tweetnya kan? Kedua, kita punya banyak bukti tweet saya itu tak banyak dibaca orang dan tak berdampak di media sosial karena tidak ada nama saya di situ (trending urutan 60 tweet sesuai keterangan ahli), yang ada dari akun-akun yang lain," kata Jumhur usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (23/9/2021).

Ahli hukum dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofyan, telah memberikan keterangan dalam sidang lanjutan perkara penyebaran informasi bohong atau hoaks atas terdakwa Jumhur Hidayat, Kamis (27/5/2021). 

Jumhur kemudian juga buka suara soal saksi yang memberatkan ketika persidangan sebelumnya berlangsung. Kata Jumhur, saksi berpendapat jika dirinya agar dibebaskan dari dakwaan lantaran serikat buruh dan asosiasi pengusaha itu biasa terjadi argumen, khususnya tentang regulasi.

"Saya tulis, UU ini memang untuk primitive investor dari RRC dan investor Rakus, kalau investor beradab ya seperti di berita kompas. 35 investor kata kepala BPKM itu tidak pernah berinvestasi, karena kalau investasi itu enggak harus nama di situ, tapi anak perusahaan dan lain, karena Kepala BPKM menyampaikan begitu, maka artinya kompas bohong, jadi inikan gak nyambung ya," jelas Jumhur.

Jumhur juga mempertanyakan saksi kunci yang dihadirkan JPU terkait keonaran yang disangkakan. Sebab, saksi itu hanya dihadirkan dalam persidangan Syahganda Nainggolan, yang juga pentolan KAMI di Pengadilan Negeri Depok tempo lalu.

"Di situ (persidangan Syahganda diketahui), kenapa dia berbuat onar? Dia bilang membaca media sosial instagram, menyaksikan orang yang seolah-olah menyuruh untuk berdemonstrasi. Kemudian terjadi diskoneksi karena saksi tersebut tidak punya twitter, dia (pelaku onar) bilang tidak punya twitter sementara Syahganda itu main twitter demikian juga saya," imbuh Jumhur.

Sementara itu, Oky Wiratama selaku kuasa hukum Jumhur berpendapat, JPU turut mengesampingkan saksi-saksi serta barang bukti dari pihak terdakwa. Dia mengatakan, JPU sesat pikir dalam melihat perkara ini.

“Menurut saya, itu sesat pikir, karena terdakwa diberikan hak yang sama menghadirkan saksi meringankan baik saksi fakta maupun saksi ahli,” kata Oky.

Oky menjelaskan, hak tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada Pasal 14 yang telah diadopsi oleh UU No. 12 Tahun 2005, menyebutkan jika semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan.

“Ketika jaksa mengatakan (saksi dan bukti dari pihak Jumhur) dikesampingkan, pertanyaan saya, (apakah) jaksa membaca UU tentang hak sipil dan politik,” tegas dia.

Tim kuasa hukum Jumhur juga keberatan dengan pertimbangan jaksa yang tidak menyertakan saksi dan ahli dari kuasa hukum. Sebab, mereka tidak masuk dalam berita acara perkara (BAP) kepolisian.

“Pak Jumhur tidak diberi kesempatan (menghadirkan) saksi yang meringankan dia saat di-BAP. Yang dilihat di sini fakta persidangan, bukan proses di kepolisian. Menurut saya, ini logika sesat pikir. Masyarakat bisa menilai kualitas seorang jaksa penuntut umum yang punya argumen seperti dia,” beber Oky.

Tiga Tahun Penjara

Jaksa dalam tuntutannya menyebut, Jumhur Hidayat selaku terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. JPU menyebut, Jumhur diyakini bersalah melanggar Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

"Menjatuhkan pidana penjara terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tananan sementara dan perintah agar terdakwa tetap ditahan," kata JPU.

Ajukan Pledoi

Atas tuntutan tersebut, Jumhur akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan. Pernyataan itu disampaikan tim kuasa hukum Jumhur, Oky Wiratama seusai mendengar tuntutan JPU di ruang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (23/9/2021) hari ini. Pledoi tersebut akan disampaikan secara tertulis.

"Kami akan mengajukan pledoi secara tertulis," kata Oky.

Terkait hal itu, hakim ketua Hapsoro Widodo menyebutkan persidangan akan ditunda untuk satu pekan ke depan. Sidang dengan agenda pledoi tersebut akan berlangsung pada Kamis (30/9/2021).

"Sidang selanjutnya kami tunda satu minggu, Kamis 30 September 2021," kata hakim.***