'Presidential Threshold' dan Upaya Menjaring Pemimpin Masa Depan

'Presidential Threshold' dan Upaya Menjaring Pemimpin Masa Depan
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi negara, telah mengatur pengusulan partai politik (parpol) atau gabungan parpol mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) dalam kontestasi pemilu.

Pasal 6A angka (2) UUD 1945 menegaskan bahwa "pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai atau gabungan parpol peserta pemilu".

Aturan dalam konstitusi tersebut secara tegas tidak mengatur mengenai ambang batas parpol atau gabungan parpol dapat mengajukan capres-cawapres dalam bentuk persentase perolehan kursi maupun suara sah nasional partai.

Namun, konstitusi memberikan batasan bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang bisa mengajukan pasangan capres-cawapres di pemilu.

Sementara itu, Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, mengatur secara rinci terkait persyaratan parpol atau gabungan parpol mengusulkan pasangan capres-cawapres, yaitu melalui ambang batas pencalonan atau "presidential threshold".

Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan parpol atau gabungan parpol bisa mengajukan capres-cawapres adalah yang perolehan kursinya sebanyak 20 persen di parlemen atau perolehan suara nasional sebanyak 25 persen berdasarkan hasil Pemilu Legislatif (Pileg) sebelumnya.

Beberapa pihak menilai aturan "presidential threshold" dalam UU Pemilu membatasi hak warga negara untuk dipilih, sebab konstitusi tidak mengatur terkait hal tersebut. Karena itu, Pasal 222 UU Pemilu dianggap memiliki masalah yang mendasar yaitu terkait prinsip keadilan, misalnya menggunakan hasil Pemilu 2019 untuk "laga" Pemilu 2024.

Langkah uji materi terkait "presidential threshold" sudah dilakukan berbagai pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu karena dianggap menimbulkan berbagai ekses negatif, seperti oligarki dan polarisasi masyarakat akibat berlakunya ketentuan tersebut.

MK berpandangan, pendapat PBB tersebut tidak beralasan menurut hukum karena tidak terdapat jaminan dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan capres-cawapres oleh parpol atau gabungan parpol, berbagai ekses tersebut tidak akan terjadi lagi.

Sementara itu, di sisi lain, DPR dan pemerintah telah sepakat untuk tidak merevisi UU Pemilu dan Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Revisi kedua UU tersebut dikhawatirkan akan "merembet" kepada banyak hal sehingga dikhawatirkan mengganggu tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan sejak Agustus 2022.

Karena itu, dengan kesepakatan antara DPR dan pemerintah yang tidak akan merevisi UU Pemilu, maka aturan terkait "presidential threshold" tidak akan diubah sehingga parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan pasangan capres-cawapres yaitu perolehan kursi sebanyak 20 persen di parlemen atau perolehan suara nasional sebanyak 25 persen berdasarkan hasil Pemilu 2019.

Dengan aturan yang baku tersebut, "presidential threshold" sebesar 20 persen, lalu bagaimana upaya menjaring pemimpin di masa depan?

Menjaring Pemimpin di Masa Depan

Hasil perolehan suara nasional parpol di Pemilu 2019, PDI Perjuangan memperoleh suara sah 27.053.961 (19,33 persen); Partai Gerindra, suara sah 17.594.839 (12,57 persen); Partai Golkar, suara sah 17.229.789, (12.31 persen); PKB, suara sah 13.570.097 (9,69 persen).

Partai NasDem dengan suara sah 12.661.798 (9,05 persen); PKS suara sah sebanyak 11.493.663 (8,21 persen); Partai Demokrat dengan suara sah 10.876.057 (7,77 persen); PAN memperoleh suara sah 9.572.623 (6,84 persen); dan PPP dengan suara sah 6,323.147 (4,52 persen).

Berdasarkan perolehan suara parpol di Pemilu 2019, hanya PDI Perjuangan yang bisa mengajukan sendiri pasangan capres-cawapres di Pemilu 2024. Hal itu karena dari hasil suara nasional yang diperoleh PDI Perjuangan, jumlah kursi DPR RI yang diperoleh sebanyak 128 kursi.

Ambang batas yang digunakan pada Pemilu Presiden 2024 adalah perolehan jumlah kursi DPR atau suara sah nasional partai pada Pemilu 2019. Jumlah total kursi di DPR saat ini adalah sebanyak 575, sehingga untuk memenuhi "presidential threshold", parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen dari 575 kursi DPR RI.

Karena itu, 20 persen dari 575 kursi DPR RI adalah 115 kursi, sehingga PDI Perjuangan dengan perolehan kursi sebanyak 128, dapat mengusung sendiri pasangan capres-cawapres. Sementara itu, partai yang lain diharuskan berkoalisi untuk bisa mengajukan pasangan capres-cawapres di Pemilu 2024.

UUD 1945 sebagai konstitusi telah menegaskan bahwa saluran bangsa Indonesia menghasilkan pemimpin (capres-cawapres) hanya melalui parpol atau gabungan parpol. Karena itu, kunci utama dalam menghasilkan pemimpin Indonesia di masa depan adalah parpol.  Apakah parpol sudah mempersiapkan secara matang atau mengambil jalan instan yaitu mengambil calon di luar partai, semua berpulang kepada masing-masing parpol.

Kendati begitu, dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, salah satu kewajiban parpol adalah melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan kadernya. Selain itu, salah satu tujuan khusus keberadaan parpol adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.

Karena itu, parpol sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi di Indonesia memiliki peran sentral dalam mempersiapkan kualitas kader dan masyarakat untuk menjadi pemimpin di masa depan. Hal itu bisa dilakukan dengan pendidikan politik yang dijalankan secara terstruktur dan sistematis sehingga menghasilkan calon pemimpin dengan kualitas yang mumpuni.

Namun, ada ungkapan yang menyebutkan bahwa calon pemimpin yang berkualitas, dikalahkan dengan popularitas yang dipoles sedemikian rupa untuk meningkatkan elektabilitas. Jalan tengahnya adalah mencari calon pemimpin yang berkualitas namun memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi.

Dalam era demokrasi digital saat ini, elektabilitas calon tidak akan bisa lepas dari popularitas yang bersangkutan, khususnya di ranah media sosial. Karena itu, beberapa nama yang digadang-gadang menjadi capres-cawapres, sibuk "memasarkan dirinya" di ranah dunia maya, tujuannya adalah meningkatkan popularitas.

Lalu, apakah parpol dalam mengusung pasangan capres-cawapres harus melihat popularitas sang calon di medsos? Jawabannya adalah tentu tidak, karena popularitas di medsos tidak selalu berbanding lurus dengan dunia nyata.

Tahun 2022 merupakan titik awal masyarakat Indonesia untuk memikirkan kembali masa depan bangsa, khususnya dalam mencapai kualitas demokrasi yang lebih baik. Pelaksanaan Pilpres 2024 dengan menggunakan "presidential threshold" sebesar 20 persen, harus menjadi semangat parpol mengajukan calon pemimpin yang beragam.

Parpol harus sadar bahwa masyarakat Indonesia harus disuguhi keberagaman dengan pilihan-pilihan calon pemimpinnya yang beraneka ragam. Rakyat nanti akan memilih para calon pemimpin tersebut sebagai nakhoda bagi kapal besar bernama Indonesia.

Masyarakat Indonesia berharap, Pilpres 2024 dapat terpilih pemimpin yang benar-benar berkualitas, bukan hanya populer di media sosial. Karena itu parpol harus selektif dalam mengajukan capres kepada rakyat yang sudah cerdas melihat dinamika sosial-politik di Indonesia.***