Pengamat : Indonesia Bisa Jadi Mediator dalam Konflik di Laut Cina Selatan

Pengamat : Indonesia Bisa Jadi Mediator dalam Konflik di Laut Cina Selatan
Lihat Foto
WJtoday, Jakarta - Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Menanggapi konflik tersebut, Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, mengatakan Indonesia perlu menyampaikan pada dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.

“Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus. Klaim tersebut dinegasikan oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia,” tegas Hikmahanto.

Pesawat tempur F-16 milik TNI AU terbang melintas di atas kapal perang TNI AL dalam operasi di Natuna, di dekat Laut China Selatan, Indonesia, 10 Januari 2020. (Foto: Reuters)

Indonesia harus mempunyai perhatian besar agar ketegangan antara dua negara besar di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antar dua negara besar, tambahnya.

Hikmahanto menegaskan China seharusnya tidak menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah. 

Disisi lain, ujarnya, “Amerika juga tidak sepatutnya menggunakan kekerasan karena berada di luar kawasan. Jangan sampai Laut Cina Selatan menjadi medan pertempuran Amerika.”

Hikmahanto juga mengatakan Indonesia harus menyampaikan kesediaan untuk menjadi juru damai yang tidak memiliki kepentingan. “Indonesia pantas menjadi mediator karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik dengan China dan Amerika,” paparnya.

Lebih jauh Rektor Universitas Achmad Yani itu mengatakan Indonesia harus dapat menyampaikan kepada China agar tidak memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk meraih keuntungan dalam klaimnya di Laut Cina Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional.

“Bila China memanfaatkan pandemi ini,” lanjut Hikmahanto, “maka China tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, tetapi berhadapan dengan Amerika dan sekutunya.”


AS: Klaim China di Laut China Selatan ‘Sepenuhnya Melanggar Hukum’
Amerika Serikat mengatakan, Senin (13/7), klaim China atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut Cina Selatan “sepenuhnya melanggar hukum,” seperti kampanye intimidasi Beijing untuk menguasai kawasan itu.

Beberapa pakar mengatakan kepada VOA bahwa ini adalah pertama kalinya Washington “secara eksplisit” mendukung substansi putusan yang mengikat oleh Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag empat tahun lalu.

“RRC tidak memiliki alasan hukum untuk memaksakan kehendaknya secara sepihak pada kawasan itu,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan, Senin (13/7).

Kapal penyerang amfibi USS America di Laut China Selatan.

"Beijing tidak menunjukkan dasar hukum yang koheren untuk klaim Nine-Dash Line (“Garis Sembilan Garis Putus-Putus”) di Laut Cina Selatan sejak secara resmi mengumumkannya pada 2009," kata Pompeo. Nine-Dash Line bisa didefinisikan sebagai garis demarkasi yang tidak jelas letaknya.

China bersaing dengan Brunei, Malaysia, Taiwan, Vietnam, Indonesia, dan Filipina atas sebagian wilayah Laut Cina Selatan seluas 3,5 juta kilometer persegi.

Mahkamah Arbitrase Permanen yang berpusat di Den Haag, dalam keputusan yang mengikat yang dikeluarkan 12 Juli 2016, menolak klaim maritim China karena tidak memiliki dasar dalam hukum internasional. China tidak menerima keputusan itu.***