Pandemi Covid-19 Diprediksi Bakal Berakhir saat Musim Kemarau

Pandemi Covid-19 Diprediksi Bakal Berakhir saat Musim Kemarau
Lihat Foto
SAMPAI kapan pandemi Covid-19 di Indonesia berakhir? Pertanyaan tersebut muncul di benak hampir semua masyarakat Indonesia. 

Pasalnya, hingga saat ini virus Corona telah menginfeksi lebih dari 1.119.109 orang di dunia, dengan 58.955 orang meninggal yang tersebar di di 204 negara. Di Indonesia sendiri, tercatat hingga Sabtu (4/4/2020), ada 2.092 kasus positif Covid-19 dengan 191 meninggal dunia. Sedangkan di Jabar, ada 247 kasus positif dengan 28 meninggal dunia.

Ada banyak perkiraan soal akhir dari pandemi Covid-19 ini. Salah satu asumsi yang menyebutkan virus Corona kemungkinan bisa mulai berkurang bahkan berakhir saat memasuki musim kemarau. 

Indonesia sendiri, menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), di sejumlah wilayah akan memasuki musim kemarau mulai April ini dan Mei mendatang di beberapa wilayah lainnya. 

Dengan demikian, jika asumsi tersebut benar, pandemi Covid-19 akan mulai berkurang pada April atau Mei mendatang, dan benar-benar hilang saat musim kemarau berakhir pada Oktober mendatang.

Sejumlah penyakit menular memang muncul dan menghilang mengikuti musim. Flu dan virus noro biasanya muncul pada musim hujan nan dingin. Penyakit lainnya, seperti tifus, cenderung memuncak pada musim kemarau. Kasus campak umumnya menurun saat musim panas di wilayah beriklim dingin, namun penyakit tersebut justru meningkat pada musim kemarau di wilayah tropis.

Karena adanya pola ini, tak mengherankan banyak orang bertanya apakah Covid-19 juga merupakan penyakit musiman?

Sejak pertama kali muncul di China sekitar pertengahan Desember, virus Corona menyebar dengan cepat. Saat ini, virus tersebut sangat mewabah di Eropa dan Amerika Serikat.

Sebagian besar wabah virus Corona terjadi di wilayah-wilayah yang cuacanya sejuk. Hal inilah yang memicu spekualasi bahwa Covid-19 kemungkinan menghilang seiring tibanya musim panas.

Studi dari Universitas Sun Yat-sen, Guangzhou, China, menyatakan penyebaran virus Corona bisa melambat dalam cuaca yang lebih hangat. Sebab, virus yang menyebabkan Covid-19 itu menyebar paling cepat pada suhu lingkungan yang sejuk.

Peneliti menyampaikan panas memiliki peran yang signifikan untuk mengetahui perilaku virus Corona. Dalam penelitian, suhu panas secara signifikan mengubah transmisi Covid-19.

"Virus ini sangat sensitif terhadap suhu tinggi", kutip hasil penelitian Universitas Sun Yat-sen, dikutip South China Morning Post.

Peneliti mengatakan suhu tinggi telah mencegah virus Corona berkembang di sejumlah negara yang memiliki suhu tinggi. Sebaliknya, virus itu menyebar di negara yang memiliki iklim lebih dingin.

Dampak dari itu, peneliti menganjurkan negara dengan suhu yang lebih rendah mengadopsi langkah-langkah kontrol yang paling ketat terhadap virus tersebut.

Tim peneliti mendasarkan penelitian pada setiap kasus baru virus Corona yang dikonfirmasi di seluruh dunia pada 20 Januari hingga 4 Februari 2020, termasuk di lebih dari 400 kota dan wilayah China.

Data itu kemudian dimodelkan dengan melibatkan data meteorologi resmi pada bulan Januari di seluruh China dan ibu kota masing-masing negara yang terkena dampak. Analisis menunjukkan bahwa jumlah kasus naik sejalan dengan suhu rata-rata hingga puncak 8,72 derajat Celcius dan kemudian menurun.

"Suhu memiliki dampak pada lingkungan kehidupan manusia dan dapat memainkan peran penting dalam kesehatan masyarakat dalam hal pengembangan dan pengendalian epidemi," kata penelitian itu.

Asisten direktur di Center for Infectious Diseases Research di American University of Beirut, Hassan Zaraket juga mengatakan ada kemungkinan bahwa cuaca yang lebih hangat dan lebih lembab membuat virus corona lebih stabil dan dengan demikian kurang menular seperti halnya dengan patogen virus lainnya.

"Kami masih belajar tentang virus ini, tetapi berdasarkan apa yang kami ketahui tentang virus Corona lain, kami bisa berharap," katanya.

"Ketika suhu memanas, stabilitas virus dapat menurun. Jika cuaca membantu kita mengurangi transmisibilitas dan stabilitas lingkungan dari virus maka mungkin kita dapat memutus rantai penularan," kata Zaraket.

Dalam penelitian itu, Qasim Bukhari dan Yusuf Jameel dari Massachusets Institute of Technology melakukan analisis kasus Covid-19 secara global.

Mereka menemukan 90 persen infeksi Virus Corona Covid-19 terjadi di daerah yang suhunya berada di antara 37,4 hingga 62,2 derajat Fahrenheit (setara 3 hingga 17 derajat Celcius) dan tingkat kelembaban absolut 4 hingga 9 gram per meter kubik (g/m3).

Sedangkan di negara dengan suhu rata-rata lebih besar dari 64,4 F (setara 18 derajat Celcius) dan kelembaban lebih dari 9 g/m3, jumlah kasus Covid-19 yang menginfeksi kurang tidak sampai 6 persen dari total kasus secara global.

"Ini menunjukkan bahwa penularan virus nCoV 2019 mungkin kurang efektif di iklim lembab yang jauh lebih hangat," ungkap para peneliti.

Mereka juga mencatat bagaimana sebagian besar kasus transmisi Corona Covid-19 terjadi di daerah yang relatif lembab. 

Tampilan mikroskopik Covid-19 yang tampak seperti makhota. Karena itu virus jenis ini disebut Corona yang dalam bahasa Latin artinya Mahkota. 

Jubah yang Tidak Tahan Panas
Virus-virus Corona adalah sebuah keluarga yang disebut sebagai 'virus-virus berselubung'. Artinya mereka berselubung dalam jubah berminyak, yang dikenal dengan lapisan lipid, bertabur protein berwujud tonjolan-tonjolan seperti pada mahkota. Itulah mengapa virus-virus ini dinamai corona, yang dalam bahasa Latin berarti mahkota.

Riset pada virus-virus berselubung lainnya menunjukkan bahwa jubah berminyak ini membuat virus-virus tersebut lebih rentan pada panas ketimbang virus yang tidak berselubung.

Dalam kondisi dingin, jubah berminyak mengeras mirip karet atau mirip lemak dari daging yang dimasak matang kemudian dingin. Jubah ini berfungsi melindungi virus ketika virus itu berada di luar tubuh.

Para peneliti sudah tahu bahwa virus Corona baru bisa bertahan hidup selama 3 hari pada permukaan keras dalam suhu antara 21-23 derajat Celsius. Imbasnya, sebagian virus berselubung cenderung menunjukkan perilaku musiman yang kuat

Riset telah memperlihatkan virus Sars-Cov-2 bisa bertahan hidup selama 72 jam pada permukaan keras seperti plastik dan baja antikarat dalam suhu antara 21-23 derajat Celsius dan kelembaban relatif 40%.

Bagaimana perilaku Covid-19 pada suhu dan kelembaban lain masih harus diuji, namun riset pada virus-virus Corona jenis lain mengindikasikan mereka bisa bertahan hidup selama lebih dari 28 hari pada suhu 4 derajat Celsius.

Virus Corona yang menyebabkan wabah Sars pada 2003 silam juga diketahui punya kemampuan bertahan hidup dalam kondisi sejuk dan kering.

Sebagai contoh, virus Sars kering yang menempel pada permukaan mulus bisa tetap menular selama 5 hari pada suhu 22-25 derajat Celsius dengan kelembaban relatif 40-50%.

Semakin tinggi suhu dan kelembaban, semakin rendah kemampuan virus tersebut untuk bertahan hidup.

"Iklim berperan karena mempengaruhi stabilitas virus di luar tubuh ketika dikeluarkan melalui batuk atau bersin, contohnya," kata Miguel Araujo, peneliti dampak perubahan lingkungan pada keragaman hayati dari Museum Ilmu Alam Nasional di Madrid, Spanyol.

"Semakin lama virus tetap stabil di lingkungan, semakin besar pula kemampuannya untuk menjangkiti orang dan menjadi epidemi. Sars-Cov-2 memang telah menyebar ke seluruh dunia, namun wabah besar umumnya terjadi di tempat-tempat yang terpapar cuaca dingin dan kering."

Apakah Covid-19 mengikuti pola penyakit menular lainnya dan memudar seiring musim panas tiba?
Permodelan komputer ciptaannya tampak klop dengan pola wabah di seluruh dunia dengan jumlah kasus tertinggi di luar kawasan tropis.

Araújo meyakini jika Covid-19 punya sensitivitas pada suhu dan kelembaban. Itu berarti kasus-kasus virus Corona akan meningkat pada waktu yang berbeda di tiap belahan dunia.

"Beralasan untuk mengira bahwa kedua virus punya perilaku mirip," ujarnya.

"Namun ini bukan persamaan satu variabel. Virus ini menyebar dari manusia ke manusia. Semakin banyak manusia di suatu tempat dan semakin erat mereka berkontak satu sama lain, penularan akan semakin banyak. Perilaku mereka adalah kunci untuk memahami penyebaran virus," tambah peneliti biologi itu.

Tidak jelas memang mengapa suhu sangat memengaruhi virus flu seperti Covid-19. Tapi, hal itu bisa jadi karena saat kita mengembuskan napas, beberapa virus di bagian belakang tenggorokan terdorong keluar.

"Dan jika kita melihat dengan mikroskop dan memperhatikan virus itu, kita akan melihat bahwa virus dilindungi oleh bola mikroskopis yang melembabkan," ujar Dr William Schaffner, Spesialis Penyakit Menular Vanderbilt University di Tennessee.

"Saya pikir memang tidak masuk akal kita berharap bahwa virus ini akan mereda di bulan-bulan musim panas. Tapi, tetap saja itu mungkin bisa memberikan kita harapan," tambahnya.

Molecular Expressions Cell Biology: The Influenza (Flu) Virus
Virus Corona baru artay Covid-19 memiliki kemiripan dengan virus Influenza yang menular mengikuti musim. 

Berperilaku seperti Influenza
Virus Corona juga sama menularnya seperti flu, tapi berpotensi lebih berbahaya, terutama karena tidak ada pengobatan khusus, penyembuhan atau vaksin musiman. Pada perkiraan tingkat kematian terendah berdasarkan data saat ini, Covid-19 diperkirakan membunuh sekitar 1-2% dari pasien yang diketahui, dibanding sekitar 0,1% untuk penyakit influenza.

Para ahli berharap virus akan tetap berperilaku seperti influenza, bagaimanapun akan meruncing di musim semi.

"Ini adalah virus pernapasan dan mereka selalu menjadi masalah selama cuaca dingin, untuk alasan yang jelas," kata Nelson Michael, seorang peneliti medis militer AS terkemuka.

Influenza berkembang dalam kondisi yang dingin dan kering. Itulah sebabnya musim dingin adalah musim flu bagi sebagian besar negara di belahan bumi utara. Perbedaan perilaku di musim dingin juga dapat memiliki efek.

Michael memperkirakan virus Corona mungkin saja berperilaku seperti flu dan memberi 'lebih sedikit masalah ketika cuaca menghangat'. Tetapi, dia mengingatkan, virus itu bisa kembali ketika cuaca menjadi dingin lagi.

Brittany Kmush, pakar kesehatan masyarakat di Universitas Syracuse di New York, yang tidak terlibat dalam studi UM, mengatakan bahwa "influenza dan virus Corona lain yang menginfeksi manusia cenderung mengikuti musiman, dengan kasus memuncak pada bulan-bulan musim dingin di belahan Bumi utara. Namun, kami tidak tahu apakah virus ini akan mengikuti pola musiman yang serupa."

Penerapan physical distancing atau menjaga jarak salah satu upaya dalam pencegahan penyebaran Covid-19.
 
Tidak Serta Merta Menurun tanpa Penerapan Intervensi Kesehatan
Memang masih banyak yang meragukan soal akhir pandemi Covid-19 tersebut. Epidemiolog bahkan telah memeringatkan agar tidak bergantung bahwa cuaca dapat menghentikan wabah.

Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Michael Ryan, meminta semua orang untuk tidak menganggap pandemi Covid-19 akan mereda secara otomatis di musim panas.

"Kami harus mengasumsikan virus akan terus memiliki kapasitas untuk menyebar," kata Ryan.

Menurutnya, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa virus Corona akan hilang pada musim panas. "Menjadi harapan palsu kalau mengatakan itu (virus Corona) akan hilang seperti flu. Kita tidak bisa membuat asumsi itu. Dan tidak ada bukti," ujarnya.

Sebuah studi terpisah oleh sekelompok peneliti termasuk ahli epidemiologi Marc Lipsitch dari Harvard's TH Chan School of Public Health menemukan bahwa penularan berkelanjutan dari virus Corona dan pertumbuhan infeksi yang cepat dimungkinkan dalam berbagai kondisi kelembaban.

"Cuaca saja, (seperti) peningkatan suhu dan kelembaban saat bulan-bulan musim semi dan musim panas tiba di belahan bumi utara, tidak akan serta merta menyebabkan penurunan dalam jumlah kasus tanpa penerapan intervensi kesehatan masyarakat yang luas," kata studi tersebut.

Lipsitch juga tidak berasumsi bahwa perubahan cuaca akan membuat perbedaan besar terkait dengan bagaimana virus menyebar.

"Covid-19 kini telah ada di seluruh dunia. Jika virus ini mirip dengan virus flu biasa, virus itu dapat memburuk di kawasan belahan bumi selatan saat musim berganti," kata Lipsitch, dikutip National Geographic. 

Ada lebih dari 10.000 kasus Corona Covid-19 terjadi di daerah dengan suhu rata-rata 18 derajat celcius (atau setara 64,6 derajat F), seperti data sejak 15 Maret 2020. Artinya peran suhu yang lebih hangat untuk memperlambat penyebaran bisa terjadi dengan suhu yang jauh lebih tinggi.

Lebih dari 100 kasus telah dikonfirmasi di Singapura, di mana panas dan lembab terjadi sepanjang tahun. Australia, Brasil, dan Argentina, yang semuanya saat ini di tengah musim panas, kini juga telah melaporkan banyak kasus.

Di Indonesia sendiri, suhu rata-rata di sejumlah daerah berkisar antara 23-32 derajat celsius. Meski demikian, virus itu telah menyebar dan menginfeksi 2.092 pasien dan 191 di antaranya meninggal dunia.

"Saya pikir memang tidak masuk akal kita berharap bahwa virus ini akan mereda di bulan-bulan musim panas. Tapi, tetap saja itu mungkin bisa memberikan kita harapan," ungkap Dr William Schaffner, Spesialis Penyakit Menular Vanderbilt University diTennessee.

Penanganan pandemi Covid-19 dilakukan secara maksimal terhadap para pasien positif. Selain itu, upaya pencegahan pun harus dilakukan secara massif. 

Para pakar pun sudah mewanti-wanti bahwa jangan terlalu berharap virus Corona akan musnah pada musim panas. Dan sikap waspada mereka sangat beralasan. Virus yang menimbulkan Covid-19 —yang secara resmi bernama SARS-CoV-2 —terlalu baru sehingga data mengenai korelasinya dengan musim dan cuaca belum benar-benar kuat.

Virus Sars —yang berhubungan erat dengan virus Corona baru yang kini mewabah— ditangani dengan cepat ketika menjalar pada 2003 silam. Sebagai konsekuensi, informasi mengenai perilakunya terhadap musim dan cuaca masih terlalu sedikit.

Namun ada beberapa petunjuk dari virus Corona jenis lain guna mengetahui apakah Covid-19 merupakan penyakit musiman.

Kajian 10 tahun lalu oleh Kate Templeton dari Pusat Penyakit Menular di Universitas Edinburgh, menemukan 3 jenis virus corona —yang semuanya diperoleh dari beberapa pasien di rumah sakit-rumah sakit dan tempat praktik dokter-dokter di Edinburgh— menunjukkan kemunculan pada musim dingin.

Virus-virus ini terlihat menjangkiti manusia utamanya antara Desember hingga April —pola yang juga berlaku pada influenza. Virus Corona jenis keempat, yang utamanya ditemukan pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang berkurang, jauh lebih sporadis.

Beberapa jenis virus Corona menunjukkan 'perilaku musiman'. Namun, belum diketahui apakah 2019-nCoV, virus yang menyebabkan Covid-19, juga berperilaku musiman. 

Kajian lain juga memperlihatkan tingginya suhu berkaitan dengan sedikitnya kasus Covid-19. Meski demikian, studi itu mencatat bahwa suhu saja tidak bisa dijadikan patokan atas beragamnya jumlah kasus di dunia. Pasalnya, sifat musiman endemi virus-virus dipengaruhi beragam alasan yang mungkin tidak berlaku pada pandemi Covid-19. 

Kasus-kasus campak di Eropa, sebagai contoh, bertepatan dengan aktivitas sekolah dan menurun saat liburan saat anak-anak tidak menyebarkan virus satu sama lain.

Mudik besar-besaran saat Imlek pada 25 Januari juga diperkirakan memainkan peranan kunci dalam penyebaran Covid-19 dari Wuhan ke kota-kota lain di China dan seluruh dunia.

Begitu virus mulai menyebar di dalam suatu komunitas, penyebarannya didorong oleh kontak jarak dekat antarmanusia. Karena itu, menghentikan kontak antarmanusia bisa menurunkan tingkat penularan virus ini. ***