Renungan Jumat
Orang Paling Cerdas dan Mulia Menurut Rasulullah SAW
WJtoday, Bandung - Mati adalah sesuatu yang pasti akan dialami manusia, juga makhluk hidup lainnya. Namun, tidak ada yang tahu kapan ia akan datang. Manusia dianjurkan untuk sering mengingat mati agar hidupnya lebih bermakna, diisi dengan amal saleh dan menjauhi amal salah.
Dalam hadis, Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya, "Perbanyaklah kalian dalam mengingat penghancur segala kelezatan dunia, yaitu mati." (HR at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah).
Ketika sudah waktunya, kematian itu akan menjemput siapa pun, tanpa ada yang mampu memundurkan atau mempercepatnya.
"Katakanlah (wahai Muhammad), kematian yang kalian takuti itu pasti akan datang menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Tuhan Yang Mahamengetahui hal-hal gaib dan nyata. Lalu Dia akan memberitahukan segala apa yang telah kalian lakukan di dunia." (QS al-Jumu'ah [62]: 8).
Karena itulah, manusia dituntut untuk mempersiapkan diri dan bekal setelah mati. Nabi SAW bahkan menyebut orang yang demikian sebagai orang cerdas.
"Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati." (HR at-Tirmidzi).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW ditanya salah seorang Anshar yang dibawa Ibnu Umar menemuinya, "Wahai Nabi, siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia?" Beliau menjawab, "Orang yang paling banyak dalam mengingat mati dan paling siap menghadapinya. Merekalah orang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat." (HR at-Tirmidzi).
Para filsuf Muslim menyimpulkan cinta dunia dan benci kematian adalah penyakit yang disebabkan oleh dorongan jiwa dan syahwat, suatu penyakit dengan penderita paling banyak di dunia.
Abu Bakar Al-Razi, filosof Muslim yang terkenal dengan bukunya Al-Tibb Al-Ruhani, mencatat bahwa di antara hal yang membuat jiwa melantur dan mendorongnya kepada berbagai pertarungan yang merugikan dan syahwat yang tercela adalah panjang angan-angan dan lupa akan kematian.
Umar ibn Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar al-Shidiq, pernah berkata:
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عاشرَ عشرةٍ , فقال رجلٌ من الأنصارِ : من أكيَسُ النَّاسِ وأكرمُ النَّاسِ يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : أكثرُهم ذِكرًا للموتِ وأشدُّهم استعدادًا له أولئك هم الأكياسُ ذهبوا بشرفِ الدُّنيا وكرامةِ الآخرةِ .
''Bersama sepuluh orang, aku menemui Nabi SAW lalu salah seorang di antara kami bertanya, 'Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?' Nabi menjawab, 'Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat'.'' (hadits riwayat Ibnu Majah).
Salman Al Farisi, seorang sahabat nabi dari tanah Persia, juga pernah berkata: ''Tiga hal yang membuatku heran hingga membuatku tertawa: Orang yang mengangankan dunia padahal kematian tengah memburunya; orang yang lalai padahal ia tidak pernah dilupakan-Nya; dan orang yang tertawa sepenuh mulutnya, sementara ia tidak mengetahui apakah ia membuat murka Tuhan. Sementara itu, ada tiga hal yang membuatku bersedih: Perpisahanku dengan kekasih, Muhammad SAW, dahsyatnya hari kiamat, dan berdiri di hadapan-Nya sementara aku tidak tahu apakah aku diperintahkan ke surga atau ke neraka.''
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai khalifah kelima setelah Al-Khulafa al-Rasyidun karena keadilan dan kesalehannya. Khalifah yang dikenang karena jasanya mengumpulkan hadits Nabi ini gemar sekali mengumpulkan para ahli fiqih pada masa pemerintahannya, untuk bersama-sama menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs).
Cara yang biasa digunakan sang khalifah adalah dengan mengajak para peserta pengajian mengingat mati (dzikru al-maut) dan mengingat-ingat hari kiamat (dzikru yaum al-qiyamah).
Setelah saling berestrospeksi diri, mereka kemudian menangis, seolah-olah di hadapan mereka ada jenazah terbaring kaku siap menghadiri pengadilan Allah SWT.
''Umar bin Abdul Aziz menangis setelah mendengar nasihat seorang ulama tentang kematian,'' demikian sebuah riwayat menuturkan. Karena kecenderungannya ini, Umar sangat dihormati dan ditaati.
Orang yang mengingat mati sejatinya sadar bahwa apa pun tidak ada artinya jika tidak digunakan untuk hal-hal positif yang menjadi bekalnya nanti. Ada banyak manfaat dari mengingat mati, di antaranya melembutkan hati. Suatu ketika, seorang wanita mengeluhkan hatinya yang keras. Aisyah menyarankan, "Perbanyaklah mengingat mati, niscaya hatimu menjadi lembut." Beberapa hari kemudian, wanita itu menemui Aisyah lagi dan berterima kasih karena ia merasa hatinya telah menjadi lembut berkat saran Aisyah sebelumnya.
Mengingat mati juga membuat seseorang hidup qanaah (merasa cukup dengan pemberian Allah). Ia akan memandang merasa ringan, meskipun hidupnya susah. Karena ia tahu bahwa kesusahan di dunia tidaklah lebih hebat dari kematian. Ka'ab bin Malik, salah seorang sahabat Nabi SAW, berkata, "Siapa yang mengetahui hakikat kematian, pasti segala penderitaan dan kesusahan dunia menjadi ringan." Dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin, Syamith bin 'Ajlan berkata, "Siapa yang menjadikan maut di hadapan kedua matanya, dia tidak peduli dengan sempit atau luasnya dunia."
Ali bin Abi Thalib RA pernah mengatakan, "Sesungguhnya kematian terus mendekati kita, dan dunia terus meninggalkan kita. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini, di dunia ini, adalah beramal dan tidak ada hisab, sementara esok di akhriat adalah hisab dan tidak lagi bisa beramal."
Imam al-Qurthubi dalam kitab at-Tadzkirah mengutip ucapan ad-Daqaq tentang keutamaan orang yang banyak mengingat mati; pertama, membuat seseorang segera bertobat; kedua, membuat hati seseorang menjadi qanaah; ketiga, membuat seseorang bersemangat dalam melakukan amal ibadah. Adapun orang yang tidak mengingat mati, ia akan menunda-nunda tobat, tidak ridha dengan ketentuan Allah, dan bermalas-malasan dalam beramal ibadah.
Mengingat mati tidaklah membuat orang menjadi malas beraktivitas, justru akan bersemangat dan memaknai kehidupan dengan baik. Orang yang sering mengingat mati akan selalu mendekat kepada Allah, menjauhi segala keburukan, dan selalu beramal saleh. Sebab, ia sadar dengan itulah ia sejatinya tengah mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi. Dunia hanya sementara, sementara akhirat adalah abadi. Betapa rugi orang yang lebih memilih dunia daripada akhirat. Wallahu a'lam.*** (agn)