Membaca Langkah 'Extraordinary' yang Dimaksud Jokowi

Membaca Langkah 'Extraordinary' yang Dimaksud Jokowi
Lihat Foto
WJtoday, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesal karena kabinet menterinya tak maksimal atasi pandemi corona. Jokowi marah-marah karena para pembantunya itu terlihat biasa-biasa saja menghadapi krisis akibat corona. Video kekesalan dan kemarahan Presiden itu diunggah istana.

Mereka mengunggah video pidato pengantar Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet 18 Juni lalu alias 10 hari sebelumnya. Dalam rapat itu, Jokowi marah-marah terhadap para menteri dan pimpinan lembaga yang tak maksimal bekerja merespons pandemik Corona atau Covid-19.

"Saya harus ngomong apa adanya: enggak ada progres yang signifikan (dalam penanganan Covid-19), enggak ada," kata Jokowi.

Beberapa kali suara Jokowi sempat meninggi. Jokowi tidak menunjuk siapa menteri yang dimaksud. Hanya saja, ia beberapa kali menyinggung program yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Dia menilai kinerja Kementerian Kesehatan lamban.


Kucuran dana untuk Kemenkes Rp75 triliun itu baru cair sebesar 1,53%. Ia meminta dana itu segera digunakan untuk membayar tunjangan dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis lain.

Beberapa tokoh publik merespon Video tersebut.
Aktivis HAM, Haris Azhar menyatakan unggahan video itu hanyalah basa-basi Presiden. Ia menganggap Jokowi melemparkan tanggung jawab pada bawahannya. Menurutnya, Jokowi adalah bos dari seluruh kabinet menteri. Harusnya memberi arahan yang jelas terkait penanganan Covid-19.

Menurut politisi PKS, Mardani Ali Sera, kemarahan Jokowi hanya sia-sia bila tidak dilanjutkan dengan tindakan konkret. Publik juga menilai kekesalan Jokowi itu hanyalah pencitraan belaka. Hal ini terindikasi dari unggahan video setelah 10 hari rapat itu berlalu.

Kesal, marah, dan jengkel. Ekspresi yang biasa diungkapkan Presiden manakala kinerja menterinya tidak beres. Tidak ada progres yang signifikan. Ancaman reshuffle pun mengemuka. Dari video yang diunggah istana, nampaknya sinyal reshuffle makin kuat.


Melihat respons publik yang beraneka komentar, ada beberapa poin yang bisa digaris bawahi dari pengantar kekesalan Presiden tersebut:

Pertama, ekspresi kemarahan yang terlambat. Mengapa Presiden baru marah sekarang? Bukankah corona sudah mengancam sejak kasus pertama datang? Terlihat saat itu para menteri meremehkannya dengan candaan. Kenapa saat itu Presiden nampak santai? Sikap guyonan menteri saat itu mestinya dimarahi.

Jokowi bilang ini situasi tidak normal. Lantas, mengapa juga pemerintah ngotot ingin menerapkan new normal? Antara ucapan dan perbuatan tidak sinkron. Lebih terkesan plin-plan.

Sikap plin-plan inilah yang membuat menteri bergerak sendiri. Bikin kebijakan dengan pemikiran mereka sendiri. Sebab, arahan dan instruksi tidak rinci. Terlalu umum dan bias. Asal perintah, pokoknya jalankan. Hal inilah yang menyebabkan penafsiran masing-masing menteri berbeda.


Kedua, kebijakan abu-abu, solusi semu. Sejauh ini, kebijakan yang dikeluarkan Jokowi tampak kelabu. Tak jelas mau dibawa ke mana. Sebentar keluarkan Perppu, sebentar keluar aturan baru. Keluarkan Perppu, Perpres, atau bahkan reshuffle kabinet hanyalah solusi semua. Belum menyentuh akar permasalahan.

Masalah pandemik membutuhkan kebijakan dan solusi yang jelas. Bukan solusi lompat-lompat yang berpindah haluan. Apalah artinya kemarahan bila itu hanya untuk buang badan. Kesalahan menerapkan strategi di awal pandemik itulah masalah utamanya.

Pada akhirnya kesalahan itu menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih rumit dan sulit tersolusikan. Negara berada dalam dilema. Selamatkan ekonomi, kesehatan rakyat dipertaruhkan. Prioritaskan kesehatan, ekonomi diambang kehancuran. Bermula dari peremehan, ketidakcermatan, dan kemencla-menclean.

Ketiga, peran para buzzer. Peran buzzer pendukung penguasa memberi pengaruh terhadap kinerja para menteri. Saat publik mengkritik, mereka secara buta membela. Pokoknya pemerintah benar, pengkritik yang salah. Sikap mereka ini sejatinya justru menjerumuskan pemerintah ke lembah kesalahan yang bertumpuk. Puja-puji tiada henti yang akhirnya melenakan kinerja pemerintahan.

Oleh karena itu, semestinya pemerintah menertibkan pendukung fanatiknya. Jangan lagi menutupi kesalahan dalam mengelola negara. Kritik itu dibutuhkan sebagai wujud meluruskan kebijakan. Pujian hanyalah bonus bila kinerja sudah benar.

Keempat, pucuk pimpinan adalah cermin pemerintahan. Saat siswa tak lulus ujian, siapa yang salah? Guru dan pihak sekolah kan. Ketika kerja karyawan tak beres, siapa yang disalahkan? Pimpinan perusahaan tentunya. Bagaimana bila para pembantu tak becus bekerja? Tentu majikannya yang patut disalahkan. Itulah gambaran seorang pimpinan.

Presiden adalah jabatan eksklusif yang tak sebarang orang mendudukinya. Manakala para menteri lambat kinerjanya, siapa yang bersalah? Ya pucuk pimpinan tertinggi negara, yakni Presiden. Kalau menteri bekerja biasa saja, yang berhak menegur adalah Presiden. Inilah pentingnya pengawasan dari pemimpin tertinggi.

Pemimpin yang terpilih dari proses politik demokrasi memang tidak ideal. Ia dipilih karena didukung partai politk dan pemilik modal. Ia dikenal karena dipoles dengan ciitra positif yang terus dipropagandakan. Ia dipilih tidak melalui proses alami. Mereka dipilih karena unggul modal, reputasi publik, dan pencitraan. Bukan karena kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki.

Pemimpin pilihan demokrasi dipilih berdasarkan polesan buatan. Maka dari itu, jarang kita jumpai pemimpin ikhlas dan amanah setelah duduk di singgasana. Rata-rata lupa diri karena ingin balas budi. Kebanyakan bagi-bagi kue kekuasaan setelah memenangkan kompetisi.

Jika memang ingin langkah extraordinary, bukan hanya bongkar pasang kabinet atau bikin Perppu. Coba rombak total sistem yang diterapkan hari ini. Itulah langkah extraordinary yang hakiki. Hanya saja, berani atau tidak melakukan extraordinary sistem kapitalisme yang sudah mengakar? ***