Renungan Jumat

Legakan Hati dengan Memaafkan dan Sabar

Legakan Hati dengan Memaafkan dan Sabar
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Marah merupakan sebuah sifat alami bagi manusia bila merasa terganggu atau tersakiti. Namun, mengendalikan marah adalah sikap yang lebih bijaksana. 

Seorang yang marah akan menutup ruang berpikir. Hatinya juga akan tertutup dari kebenaran. Orang yang tengah marah tidak akan pernah tenang dan mungkin membuat keputusan yang gegabah. 

Karena itu, Islam memerintahkan menahan amarah dan bersabar atas berbagai masalah yang dihadapi.

Secara psikologis, seseorang yang melampiaskan amarah biasanya lantaran ia merasa benar. Sebaliknya, apabila ia merasa salah, maka kemungkinan besar ia akan takut. 

Dalam konteks ajaran Islam, marah karena merasa benar atau takut karena salah tidak dibolehkan. 

Islam justru berulang kali mengajarkan – melalui Al-Qur’an dan hadis – agar seseorang menahan amarah dan bersabar dalam kondisi apapun. Karena amarah hanya akan menyisakan penyesalan.

Menahan amarah dan bersabar adalah suatu hal yang harus dilakukan seseorang ketika emosinya sedang bergejolak. Sebab jika ia melampiaskan atau tidak mampu menahan amarahnya, maka itu dapat berakibat fatal bagi dirinya ataupun orang di sekitarnya. 

Amarah yang dilampiaskan atau yang tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal terhadap kesehatan mental dan juga kesehatan fisik seperti darah tinggi dan gangguan jantung.

Menahan Amarah dan Bersabar Adalah Akhlak Mulia

Ada banyak ayat Al-Qur’an dan redaksi hadis yang menganjurkan umat Islam untuk menahan amarah dan bersabar. Sebab itu dapat berakibat fatal bagi pelaku dan orang sekitar sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 

Salah ayat Al-Qur’an yang memerintahkan muslim agar menahan amarah dan bersabar adalah surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 yang berbunyi:

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤

“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya (133) yang menyebutkan tentang surga seluas langit dan bumi bumi yang Allah swt sediakan bagi orang-orang yang bertakwa. 

Kemudian pada surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 Allah SWT menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud dari orang-orang yang bertakwa tersebut, yakni mereka yang senantiasa bersedekah dalam segala kondisi, yang menahan amarah, dan mau memaafkan kesalahan orang lain.

Surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 seakan-akan berkata, “Sungguh Allah telah menyediakan surga yang sangat luas bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, yakni mereka yang terus-menerus menafkahkan hartanya di jalan Allah baik waktu dia lapang maupun di waktu dia sempit (tidak memiliki kelebihan), mereka yang mampu menahan amarah dan bersabar, juga mereka yang memaafkan kesalahan orang. Itu semua adalah perbuatan kebajikan dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Menahan amarah dan bersabar memang bukan perkara mudah. Bahkan orang sekelas Nabi Muhammad SAW pernah marah. 

Dalam sebuah riwayat yang diperdebatkan, ketika Nabi SAW mengetahui gugurnya paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib, dan melihat kondisi jasadnya yang begitu menyedihkan karena dada Hamzah dibelah dan jantungnya dikunyah oleh Hindun binti Utbah, beliau sangat marah pada waktu itu hingga diriwayatkan bahwa Nabi SAW ingin membalas dendam.

Namun perasaan amarah Nabi tersebut kemudian ditegur oleh Allah SWT dalam surat an-Nahl [16] ayat 126, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” 

Melalui ayat ini Allah ingin mengajarkan utusan-Nya – sebagai manusia dan teladan bagi umat Islam – agar menahan amarah dan bersabar atas segala hal yang dihadapi. 

Karena menahan amarah dan bersabar jauh lebih baik dari melampiaskan.

Selanjutnya, surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 secara eksplisit menjelaskan tentang tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya ketika menghadapi kesalahan orang lain. 

Pertama, yang mampu menahan amarah. Kata al-kāzhimīn mengandung makna “penuh dan menutup dengan rapat” seperti wadah air yang penuh lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa seseorang harus menahan amarah agar tidak tumpah sedikitpun.

Kedua, orang yang memaafkan. Kata al-āfīn terambil dari kata al-afn yang sering diterjemahkan sebagai kata maaf. Kata ini juga bermakna menghapus. Jadi, seseorang yang memaafkan orang lain adalah orang yang menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Kalau pada tingkatan pertama yang bersangkutan hanya memaafkan, maka pada tahap ini yang bersangkutan menghapus bekas-bekas luka itu seakan tak pernah ada.

Ketiga, orang yang berbuat kebajikan kepada orang yang menyakitinya. 

Pada tahap tertinggi ini seseorang tidak hanya menahan amarah dan bersabar atau memaafkan kesalahan orang lain seakan-akan tidak pernah ada, tetapi ia juga berbuat kebaikan secara langsung kepada orang yang pernah melakukan kesalahan kepada dirinya. 

Allah dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 secara tegas mengatakan bahwa Dia menyukai orang seperti ini, yakni orang yang melakukan kebajikan.

Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling sukses mengamalkan ayat di atas. 

Beliau senantiasa berbuat baik kepada orang lain meskipun orang tersebut berbuat jahat kepada beliau. 

Salah satu riwayat yang paling terkenal tentang kebaikan Nabi adalah kisah beliau dengan seorang pengemis buta yang sering menghina dan menuduh nabi sebagai pendusta. Namun nabi tetap berbuat baik kepadanya dan atas izin Allah pengemis tersebut masuk Islam pasca nabi wafat.

Berdasarkan surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 dan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Al-Qur’an mengajarkan umat Islam agar menahan amarah dan bersabar atas berbagai masalah yang dihadapi. 

Karena amarah yang dilampiaskan atau tidak ditangani dengan baik hanya akan menyisakan penyesalan di kemudian hari. 

Nabi Muhammad SAW dalam kesehariannya juga senantiasa mengajarkan tentang menahan amarah dan bersabar. Oleh karena itu, sebagai hamba yang beriman, kita juga seyogyanya melakukan hal serupa. 

Wallahu a’lam.***