Kemlu RI Enggan Berkomentar soal Isu Keterlibatan Inggris dalam Tragedi di Tahun 1965

Kemlu RI Enggan Berkomentar soal Isu Keterlibatan Inggris dalam Tragedi di Tahun 1965
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI enggan berkomentar mengenai temuan fakta baru yang mengungkapkan dugaan keterlibatan Inggris dalam tragedi pembunuhan massal 1965.

Juru Bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, mengungkapkan pihaknya tidak mengetahui perihal dokumen tersebut.

"Tidak ada info [soal dokumen tersebut]. Hal tersebut silakan dicek dengan Kedubes Inggris," kata Teuku saat dikonfirmasi lewat pesan singkat, seperti dikutip CNNIndonesia.com, Sabtu (30/10/2021).

Temuan fakta baru tragedi 1965 belum lama ini terungkap, terutama soal dugaan keterlibatan Inggris dalam peristiwa tersebut.

Temuan itu pertama kali diungkapkan ke publik dalam bentuk artikel yang dirilis oleh media Inggris The Observer dan media satu grupnya The Guardian pada 17 Oktober lalu.

Pihak Inggris melalui kedutaan besarnya di Jakarta pun enggan berkomentar terkait laporan ini.

"Kami tidak ada komentar untuk isu ini," kata seorang juru bicara Kedubes Inggris di Jakarta saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.

Yang terbaru, dokumen itu dilaporkan mengungkapkan keterlibatan Inggris dalam menyerukan pembunuhan massal 1965. Sasaran utamanya adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam laporan itu disebutkan seorang pejabat dari kantor luar negeri Inggris Ed Wynne ditugaskan untuk membuat propaganda di Indonesia. Dia juga seorang mata-mata ahli propaganda bagian dari Departemen Riset Informasi (IRD).

Wynne ditugaskan memimpin tim kecil dan membuat pamflet. Pamflet tersebut dibuat seakan-akan ditulis oleh seorang patriot Indonesia. Isinya seruan untuk melenyapkan PKI. Namun, sebenarnya, pihak propaganda Inggris lah yang membuat.

Dalam pamflet berjudul 'Kenjataan2 pada kudeta 30 September' itu, intelijen Inggris tidak hanya menyasar warga Indonesia secara umum, melainkan juga jenderal Angkatan Darat.

Dalam pamflet itu, intelijen Inggris tidak hanya menyasar warga Indonesia secara umum, melainkan juga jenderal Angkatan Darat.

Sebagaimana diketahui, AD memang disebut-sebut terlibat dalam pembunuhan massal 1965. Pembunuhan yang oleh CIA disebut sebagai pembantaian paling brutal dan terbesar di abad ke-20.

Motif keterlibatan Inggris dalam propaganda G30S serupa dengan AS dan Australia yakni ketakutan akan Indonesia yang komunis. Hal tersebut dilansir dari The Guardian, sebab saat pada 1965 PKI memiliki tiga juta anggota dan dekat dengan China. 

Seperti diberitakan The Guardian (17/10), rang-orang yang selamat dan keturunan dari mereka yang dibantai dalam pembersihan anti-komunis Indonesia tahun 1965-1966 mendesak pemerintah Inggris untuk meminta maaf atas perannya dalam apa yang digambarkan dalam laporan rahasia CIA sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk abad ke-20”.

Disebutkan, Observer menerbitkan bukti Inggris berperan dalam menghasut pembunuhan. Diperkirakan bahwa setidaknya 500.000 orang dibunuh antara tahun 1965 dan 1966 oleh tentara Indonesia, milisi dan warga.

Dokumen-dokumen yang dideklasifikasi menyoroti bagaimana lengan propaganda perang dingin Departemen Luar Negeri, Departemen Riset Informasi (IRD), mengambil keuntungan dari kudeta yang gagal oleh seorang perwira penjaga istana sayap kiri pada 30 September 1965. 

Menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan etnis Tionghoa untuk kudeta, para pejabat Inggris mengarahkan buletin dan siaran radio yang menghasut kepada kaum anti-komunis Indonesia termasuk jenderal-jenderal angkatan darat sayap kanan dan menyerukan “PKI dan semua organisasi komunis” untuk “dilenyapkan”. 

Propaganda hitam itu dimaksudkan untuk ditulis oleh “patriot Indonesia” yang diasingkan tetapi sebenarnya ditulis oleh operator Inggris di Singapura. Tidak ada bukti bahwa PKI terlibat dalam kudeta yang gagal itu.

Pembunuhan itu juga membuka jalan bagi Jenderal Suharto untuk merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno yang berhaluan kiri dan mendirikan kediktatoran korup yang berlangsung selama 32 tahun. 

Bedjo Untung, 73, kini Ketua Lembaga Pengkajian Pembantaian 1965/66 Indonesia (YPKP65), kemarin menuntut permintaan maaf dan penjelasan lengkap dari pemerintah Inggris.

“Kami sebagai korban marah. Rekonsiliasi tidak mungkin terjadi tanpa kebenaran, jadi tolong ungkapkan kebenarannya.” ujarnya seperti dikutip The Guardian.  ***