Kecemasan Uni Eropa terhadap 'Kediktatoran' Erdogan yang Berbahaya

Kecemasan Uni Eropa terhadap 'Kediktatoran' Erdogan yang Berbahaya
Lihat Foto
WJtoday.com - Jika harus membandingkan, "kediktatoran" Alexander Lukashenko di Belarusia tampaknya memiliki kemiripan dengan Recep Tayyip Erdogan di Turki. Tetapi ada perbedaan yang kontras ketika melilhat respons dari Uni Eropa. 

Sebuah artikel opini bertajuk "Erdoğan is both a bully and a menace. Europe ignores him at its peril" yang ditulis Simon Tisdall mengungkap alasan Uni Eropa tidak bertindak keras terhadap Erdogan dan justru berlaku sebaliknya pada Lukashenko. 

Artikel yang dirilis di The Guardian pada Minggu (16/8) mengurai Uni Eropa tampak memberikan kritikan keras kepada Lukashenko atas upayanya yang curang dalam pemilihan umum (pemilu) 9 Agustus lalu untuk mengamankan masa jabatan keenamnya. 

Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell yang memimpin kecaman terhadap Lukashenko menyebut pemilu tersebut "tidak bebas dan adil". 

Kendati begitu, kritikan keras Uni Eropa terhadap Lukashenko sangat kontras dengan keengganan mereka mengecam secara terbuka tindakan Erdogan di Mediterania timur. 

Kondisi ini tentu dipengaruhi oleh peran Turki yang besar. Turki sendiri adalah anggota NATO, mitra dagang utama Uni Eropa, penjaga gerbang perbatasan, serta aktor berpengaruh di Suriah serta Timur Dekat. 

Tidak seperti terhadap Belarusia, Uni Eropa memiliki kepentingan strategis yang nyata yang berada di tangan Turki. 

"Mungkin itu dapat menjelaskan keheningan canggung dari banyak pemerintah (Uni Eropa), termasuk Inggris," tulis Tisdall. 

Meski begitu, hanya ada satu negara Uni Eropa yang tampak berani melawan Turki. Negara tersebut adalah Prancis. 


Presiden Emmanuel Macron tampak menjadi pengecualian bagi Eropa. Pada Juni, Macron marah besar ketika kapal perang Turki mengawal sebuah kapal yang dicurigai menyelundupkan senjata ke Libya. 

Macron kemudian lebih marah lagi kepada Turki ketika Erdogan mengirim kapal eksplorasi minyak dan gas ke perairan teritorial Yunani. Ia bahkan mengirim bala bantuan angkatan laut ke Mediterani timur pada pekan lalu dan meminta Erdogan untuk mundur. 

Karena ulah "nakal" Turki di Mediterania, Dewan Urusan Luar Negeri Uni Eropa mengadakan pertemuan luar biasa. Kanselir Jerman, Angela Merkel pun menghubungi Erdogan untuk mencoba membujuknya. 

Ketegangan antara Yunani dan Turki atas wilayah Siprus dan perairan Mediterania bukanlah hal baru. Tetapi beberapa waktu terakhir, Turki semakin intensif melakukan berbagai manuver di wilayah sengketa tersebut. 

Seorang pakar bernama Yavuz Baydar mengatakan, meningkatnya aksi Turki beberapa waktu terakhir merupakan cara yang dilakukan Erdogan untuk tetap menunjukkan "sisi jagoan"-nya di tengah krisis yang melanda negara tersebut. 

Saat ini, Erdogan dalam kondisi yang tidak aman, Turki dilanda krisis ekonomi, pandemi Covid-19, anjloknya mata uang. Tetapi, kata Baydar, Erdogan ini memperkuat reputasinya yang dominan sebagai pemimpin dan panglima tinggi Turki. 

“Dia perlu mereproduksi citra petualangnya setiap hari,” tulis Baydar. 
Kedua, Erdogan berharap untuk memastikan posisi Turki di Laut Aegea, Mediterania timur, Suriah dan Libya terhadap perubahan pemerintahan di Washington. Orang kuat seperti Donald Trump iri pada kediktatoran Erdogan. Sementara Joe Biden tampak bisa menghentikan sumbu perselisihan. 


Jika dilihat ke belakang, masalah Erdogan di Eropa terus bertambah buruk sejak ia selamat dari kudeta 2016. Sejak saat itu, terjadi represi tanpa pandang bulu di dalam negeri, puluhan ribu oposisi dan pendukungnya dipenjara. 

Didorong oleh nasionalisme dan keyakinannya, Erdogan telah melipatgandakan perannya sebagai pengganggu di kawasan. 

Sebagai contoh, baru-baru ini, pesawat tak berawak Turki dilaporkan menyerang Irak menyusul serangan militer lintas batas yang menargetkan separatis Kurdi di Irak pada Juni.

Selain itu, di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki telah terjun langsung ke dalam perang proksi Libya, berpihak pada kelompok Islamis melawan Mesir, UEA dan Arab Saudi. Sebagian tentang bersaing dengan para saingan pemimpin Sunni, sebagian tentang minyak. Ini tentu bukan tentang kesejahteraan rakyat Libya. 

Kehati-hatian Uni Eropa dalam menghadapi Erdogan merupakan sebuah keharusan. Misalnya pada Februari, ketika Turki membuka perbatasan dengan Uni Eropa, ada pesan yang ingin disampaikan Erdogan. Ia ingin Uni Eropa sadar bahwa ia siap sepenuhnya menggunakan pengungsi sebagai senjata politik. 

Erdogan telah bermain dengan sangat baik, bukan hanya dengan Uni Eropa. Hal yang sama juga dilakukannya pada Trump ketika Turki membeli sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia.

Trump yang selalu ingin "menyenangkan" Vladimir putin akhirnya gagal mendesak Turki untuk membatalkan kesepakatannya terkait S-400. 

"Pemimpin Eropa harus menyadari bahwa masalah Erdogan tidak dapat diabaikan, dihindari, atau diremehkan dengan bergantung pada harapan ia akhirnya akan pergi," tulis Tisdall. 

"Turki yang menjadi nakal adalah prospek yang sangat nyata, langsung, dan berbahaya," sambungnya. ***