DPR Bantah Tidak Terbuka terkait Draf RKUHP

DPR Bantah Tidak Terbuka terkait Draf RKUHP
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - DPR RI membantah pernyataan beberapa pihak yang menyebutkan bahwa DPR tidak terbuka terkait draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Posisi RKUHP saat ini ada pada Pemerintah, meskipun kami secara informal terlibat menyempurnakan draf yang dulu tahun 2019 sudah disahkan di tingkat pertama. Jadi, kalau belum apa-apa lalu Pemerintah dan DPR dituduh tidak terbuka, ya memang belum siap," kata Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, Senin (20/6/2022).

Dia menilai draf RKUHP akan disampaikan kepada publik kalau Pemerintah sudah siap menyampaikan ke DPR. Pada saat yang bersamaan, tambahnya, Komisi III DPR akan membuka kepada publik.

Menurut dia, saat ini RKUHP merupakan RUU usul inisiatif Pemerintah sehingga ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) mewakili Presiden menyampaikan RUU tersebut kepada Pimpinan DPR, pasti draf tersebut akan dibuka.

"Jadi, jangan belum apa-apa dituduh Pemerintah dan DPR tidak transparan. Justru proses transparansi di DPR itu dilakukan saat 2019 ketika kami setujui di tingkat pertama (Komisi III DPR). Kami mendapatkan masukan melalui proses sosialisasi di 12 tempat, mendengarkan masukan dari berbagai elemen masyarakat," jelasnya.

Arsul menjelaskan Komisi III DPR telah mengusulkan kepada Pemerintah agar RKUHP bisa disahkan sebagai UU sebagai hadiah Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-77 tahun pada Agustus 2022.

Kalau Pemerintah pada pekan ini sudah mengajukan draf RKUHP kepada Komisi III DPR, katanya, maka target pengesahan diperkirakan dapat terjadi sebelum HUT Kemerdekaan RI ke-77.

Dia mengatakan ketika draf RUU diserahkan ke DPR, maka Komisi III DPR tidak akan melakukan pembahasan dari awal dan pihaknya akan melihat apakah masukan berbagai pihak dalam proses 12 kali sosialisasi sudah terakomodasi dalam draf tersebut atau belum.

"DPR akan membaca draf tersebut secara keseluruhan, namun Pemerintah sudah menyicil draf kepada Komisi III DPR. Misalnya, Pemerintah katakan ingin menghapus dua pasal, pertama terkait tukang gigi yang sudah disetujui di tingkat pertama pada 2019; kedua, terkait dengan pasal kohabitasi, kumpul kebo; maka Pemerintah mengusulkan mencoret pihak yang berhak mengadukan itu yaitu kepala desa," ujarnya.***