Renungan Jumat

Dibalik Harta yang Halal, Ada Hati yang Lapang

Dibalik Harta yang Halal, Ada Hati yang Lapang
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Harta yang didapatkan dengan cara tidak berkah semisal hasil korupsi, hasil mencuri, hasil riba, hasil menjadi pelacur dan lain-lainnya, tidak akan berkah dan akan cepat hilang tanpa disadari. Betapa banyak orang yang dahulunya tidak peduli dengan halal dan haramnya harta, setelah hijrah dan bertaubat, dia pun berkata,

“Dulu harta saya banyak, tapi cepat juga habisnya entah ke mana, tanpa saya sadari. Siang-malam saya lembur mencari harta yang banyak, tapi harta itu lenyap dengan cepat. Yang paling miris, saya tidak bahagia dengan harta tersebut. Sekarang setelah hijrah, saya mencari harta yang halal, harta saya cukup untuk hidup dan saya merasakan kebahagiaan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

والقليل من الحلال يبارك فيه والحرام الكثير يذهب ويمحقه الله تعالى.

Harta halal yang sedikit diberkahi daripada harta haram yang banyak. Harta haram ini cepat hilangnya dan Allah hancurkan.” (Majmu’ Fatawa, 28: 646)

Orang yang mata pencahariaannya halal, akan kamu dapati dia sebagai orang yang tenang hidupnya dan tidak tamak (Syaikh Al Utsaimin RahimahuLlah)

Harta yang Sesungguhnya

Harta adalah kepemilikan mutlak yang berada di tangan Allah dan pengelolaannya berada di tangan manusia. Kedudukan manusia sebagai khilafah Allah merupakan hakikat yang kedudukannya sebagai wakil atau yang bekerja pada Allah.

Maka dari itu manusia yang memiliki fugsi tersebut dalam memelihara harta, harus mengetahui aturan Allah dalam memelihara hartanya. Salah satu cara melindungi harta tersebut adalah dengan berinfak.
Jika ditanya, manakah harta kita yang sesungguhnya?

Mungkin akan menjawab segala sesuatu yang berada di rumah, atau bahkan ada yang menjawab setiap sesuatu yang pernah dibelinya, bahkan akan lebih banyak yang menjawab investasinya dengan berbagai macam bentuknya.

Mungkin masih sedikit yang mengatakan sedikit berfikir jika harta yang sebenarnya adalah apa-apa yang kita gunakan untuk berinfak di jalan Allah. Baik berupa uang, barang, ataupun jasa. 
Hadis Nabi di bawah ini merupakan salah satu renungan indah bagi siapa saja yang masih menghirup udara di bumi. Beliau bersabda:

"Hartamu adalah yang kau infakkan, adapun yang kau simpan adalah harta ahli warismu" (HR Bukhari)

Untuk apa harta disimpan jika hanya untuk sekedar diwariskan kepada ahlinya? Bukankah kita tak pernah mengerti apa yang mereka lakukan sepeninggal kita.

Kalau ahli warisnya adalah orang yang beriman, maka kita akan diberkahi oleh Allah. Namun jika mereka adalah ahli waris yang ahli maksiat, maka kita tak menambah dosa mereka dengan harta peningalan kita.

Oleh karena itu, infak merupakan pelindung kita dan ialah yang disebut harta kita yang sebenarnya. Secara dzahir, harta kita memang menghilang dan berkurang ketika digunakan untuk infaq. Namun dibalik semua itu Allah sediakan balasan yang lebih baik lagi, yang tak pernah ternilai secara kasat mata saja.

Nasihat Imam Ahmad Tentang Hati dan Rezeki

Menurut Imam Ahmad, “segala sesuatu ada berkahnya, berkahnya hati adalah merasa puas dengan pemberian Allah SWT”.

Ilmu yang berkah menurut Imam Ahmad adalah ketika kita merasa bahwa ilmu yang kita miliki terasa biasa-biasa saja, dengan pengetahuan yang sederhana saja, tapi manfaatnya besar untuk hidup dan itulah yang dinamakan dengan “ilmu yang berkah”.

Begitu pula dengan rezeki yang berkah, disaat penghasilan yang kita miliki sangat kecil tapi kita tetap merasa cukup dengan apa yang kita miliki, semua kebutuhan hidup bisa terpenuhi bahkan lebih. Itu semua karena Allah SWT mengendalikan keinginan kita, tidak meminta yang macam-macam, sehingga rezeki yang walaupun sedikit itu terasa sangat cukup.

Kemudian hati yang berkah menurut Imam Ahmad adalah jika kita bisa puas dengan semua pemberian Allah SWT apa adanya, karena hati yang berkah itu berarti manusianya ridha, manusianya ikhlas, manusianya tidak mengeluh, dan senantiasa bersyukur terhadap apa pun yang diberikan oleh Allah SWT. Itulah hati yang berkah sebagaimana yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad.

Introspeksi diri

Mari kita introspeksi diri, masih adakah sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT yang belum bisa kita terima?,  Masih adakah yang perlu kita protes kepada-Nya?, apabila muncul perasaan demikian, mari kita hindari itu semua. Hidupkanlah hati dengan terus merasa cukup atas segala pemberian Allah SWT agar lebih berkah.

Tips imam Ahmad

Melembutkan hati antara lain dengan cara memakan makanan yang halal, baik itu makanan konsumsi fisik maupun makanan konsumsi batin. Makanan halal secara batin adalah makanan yang mahmudah, sedangkan makanan haram secara batin itu adalah yang madzmumah. Makanan yang halal secara lahir dan batin itu adalah makanan yang halal karena zat, sebab dan efeknya.  Jangan masukkan iri, jangan masukkan benci, jangan masukkan hasad, dan jangan masukkan nifaq dalam diri kita, karena itu konsumsi yang haram secara batin.

Yang haram-haram, baik secara lahir maupun batin, baik dalam zatnya, dalam prosesnya, dalam efeknya, akan membuat hati menjadi keras. Hati yang keras akan membuat hati kita menjadi tidak berkah, dan hati yang tidak berkah itu adalah hati yang tidak puas dengan ketetapan dan pemberian Allah SWT.

Menerima ketetapan Allah SWT dalam hal rezeki

Biasanya banyak orang yang tidak menerima dalam hal rezeki. Mereka akan Selalu mengeluh akan kekurangannya dan membandingkan rezeki ynag dimilikinya dengan orang lain. Imam Ahmad berkata “rezeki itu telah dibagi, tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang.” Setiap orang sudah punya jatahnya masing-masing dan rezeki ini pula yang menjadi ujian bagi setiap orang. Bagi siapapun yang mempunyai harta berlebih, maukah mereka berbagi?, sedangkan bagi mereka yang merasa hartanya kurang, maukah tetap ridha dan sabar?.

Jatah rezeki kita sudah pasti, tinggal kita ridha atau tidak, menerima atau tidak ketetapannya Allah SWT. Rezeki kita tidak akan bertambah atau berkurang, yang kemudian dituntut oleh Allah SWT adalah sikap kita terhadap rezeki.

Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “rezeki itu bertambah apabila pemiliknya memperoleh kemudahan dari Allah SWT untuk menginfaqkannya dalam ketaatan”. Kalimat bertambah di sini bisa kita artikan sebagai barakah.

Jadi rezeki itu barakah jika orang yang mempunyai rezeki itu dianugerahi oleh Allah SWT kesadaran untuk berbagi, menginfaqkannya dalam ketaaatan, itu barakah.

Imam Ahmad juga menjelaskan bahwa salah satu Parameter untuk mengukur apakah rezeki kita itu barakah atau tidak adalah dengan memiliki kesadaran berbagi. Tidak sekedar rezeki yang sedikit itu jadi cukup dan yang cukup itu jadi banyak, namun berapa pun yang kita peroleh, kita punya kesadaran untuk berbagi. Kita tidak berambisi untuk menikmati sendiri, tapi ingin orang lain juga merasakan apa yang kita nikmati.

Itulah beberapa wasiat Imam Ahmad tentang rezeki yang barakah sebagai anugerah yang Allah SWT berikan. Jikalau rezekinya barakah, hal-hal yang masuk ke dalam dirinya juga barakah. Ketika yang masuk adalah hal-hal yang barakah, hati kita akan menjadi lebih barakah, dan hati yang barakah adalah hati yang diridhai oleh Allah SWT.***