Cegah COVID-19, Lockdown Kota Semakin Masif?

Cegah COVID-19, Lockdown Kota Semakin Masif?
Lihat Foto
WJtoday.com -  China memperlihatkan berkurangnya angka kasus COVID-19 baru di negaranya berkat lockdown kota. Bahkan pada Selasa 10 Maret 2020 Presiden China Xi Jin Ping bahwa berkurangnya kasus baru di luar Provinsi Hubei. Para ilmuwan mengatakan hasil ini salah satunya karena ketanggapan pemerintah China yang segera melakukan lockdown di pusat penyebaran COVID-19. 

Saat China mulai menunjukkan keberhasilan dalam penanganan COVID-19. Sementara di negara lain penyebaran COVID-19 malah semakin masif. 

Minggu 9 Maret 2020 Italia menutup negaranya dari dunia luar. Setelah sebelumnya lebih dulu melakukan lockdown pada 11 kota, Italia memutuskan untuk melakukan karantina di semua wilayah di negaranya.

Korea Selatan menutup Kota Daegu, membatasi akses travel dalam negeri, dan meningkatkan pengawasan terhadap setiap warganya. Indonesia yang bisa dikatakan ‘baru’ disentuh COVID-19 selama dua minggu belakangan mengatakan lockdown kota belum menjadi opsi pemerintah.

Di Indonesia lockdown kota terkait COVID-19 belum menjadi opsi pemerintah


“Belum terpikir ke arah sana,” kata Presiden Jokowi saat ditanya soal pemberlakukan lockdown di Indonesia.

Dua kasus pertama positif virus SARS-CoV-2 di Indonesia pada Senin 2 Maret 2020, lalu dalam berapa hari hasil tes positif bertambah relatif cepat. Per Selasa 17 Maret 2020 kasus pasien positif mencapai 172 pasien, 5 di antaranya meninggal dunia.

Indonesia yang bisa dikatakan ‘baru’ disentuh COVID-19 selama dua minggu belakangan mengatakan lockdown kota belum menjadi opsi pemerintah. Pemerintah menganjurkan untuk menutup sekolah atau membuat instruksi untuk bekerja dari rumah. 

Hanya himbauan ringan, berharap masyarakatnya akan secara sukarela mengikuti saran untuk tinggal di rumah, melakukan pencegahan dengan baik, dan menghindari pertemuan-pertemuan. Di Jakarta, transjakarta, bus mayasari, KRL tetap berdesakan, mayoritas orang-orang masih batuk dan bersin tanpa masker.

Seberapa penting lockdown kota mencegah penularan COVID-19 semakin masif?


Belum ada pedoman resmi kapan dan dalam kondisi seperti apa sebuah kota atau negara harus melakukan lockdown terkait COVID-19 ini. Mungkin statistik keberhasilan China bisa menjawab hal itu.


Lockdown di China diputuskan dengan cepat. Dimulai (23/1/2020) dari kota Wuhan, lokasi awal mula COVID-19 muncul. Dalam waktu satu minggu, China mengeluarkan aturan-aturan yang semakin ketat, lockdown berkembang menjadi se-provinsi.

NPR mengeluarkan laporan tentang bagaimana peraturan ketat di Provinsi Hubei diterapkan. Pemprov Hubei memberlakukan “closed management” di semua kawasan. Melarang menggunakan mobil pribadi, melarang keluar rumah tanpa seizin pemerintah, bahkan untuk membeli obat flu harus membawa kartu identitas dan dicatat. 

Pemerintah setempat menyediakan tim untuk mengantar makanan atau obat-obatan ke rumah-rumah. Sepenuhnya bergantung pada tim delivery dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, rumah sakit juga mengandalkan kurir untuk mengantarkan kebutuhan medis. 

Para kurir mengenakan seragam PPE lengkap dengan baju hazmat dan masker.

Pemberlakuan aturan yang ketat ini menimbulkan banyak kritik, dianggap melanggar hak individu hingga disebut langkah yang terlambat.

Tim penanggulangan COVID-19 China bulan lalu mempublikasi laporan dalam Journal of Thoracic Disease. Jurnal tersebut berusaha menjawab kritik langkah yang diambil China dalam pengendalian COVID-19.

Menurut ketua tim peneliti Zhong Nanshan, penundaan lima hari dalam menerapkan lockdown kota maka kasus COVID-19 di China akan bertambah tiga kali lipat dari total kasus saat ini.

Sekarang, hampir tiga bulan pemberlakuan lockdown di Hubei, jumlah kasus infeksi di provinsi ini lebih sedikit daripada yang terjadi di Italia. Penambahan kasus dalam beberapa hari terakhir hanya ada di dua digit –dua minggu lalu bertambah ribuan tiap harinya.

Terlepas dari kritikan yang menyebut langkah China itu melanggar hak asasi manusia. Respons China ini dipuji WHO, mereka menyebut kebijakan ini bahkan di luar pedomannya sendiri dan merupakan keputusan cepat tanggap yang baik.

Sebuah tajuk opini di Forbes mengatakan model yang dilakukan China dan Korea Selatan seperti satu-satunya cara pengendalian COVID-19.

Cara Korea Selatan: melakukan tes secara masif dan lockdown kota


Menganggap cara yang dilakukan China hanya bisa dilakukan China? Mari kita lihat upaya yang dilakukan Korea Selatan.

SARS-CoV-2 di Korea Selatan termasuk kasus yang paling menyentak, menyebar dengan cepat, kasusnya meningkat drastis dalam beberapa hari. 


Daegu, kota yang pertama kali satu orang dinyatakan positif COVID-19. Pasien ini merupakan superspreader yang tingkat penularan yang dilakukan lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Ini membuat kasus positif COVID-19  meningkat cepat. 

Saat itu pemerintah Korea menaikkan status wabah menjadi siaga satu. Melakukan lockdown pada beberapa fasilitas publik di Kota Daegu. Semua orang diimbau untuk tetap berada di dalam ruangan.

Dilansir SCMP, pejabat Korea mengatakan apa yang dilakukan di Korea Selatan berbeda dengan yang dilakukan China. China melakukan peraturan dengan pemantauan ketat dimana mereka memberlakukan hukuman dan imbalan bagi warganya. 

Menurutnya yang dilakukan China sulit diterapkan di negara demokratis seperti Korea Selatan.

“”Tanpa merusak prinsip masyarakat yang transparan dan terbuka, kami merekomendasikan sistem respons yang memadukan partisipasi publik sukarela dengan aplikasi kreatif teknologi canggih,” kata Wakil Menteri Kesehatan Korea Selatan Kim Gang-lip.

Korea punya cara sendiri untuk menekan angka penularan dan mendeteksi dini adanya kasus positif baru. 

Majalah Forbes menyebut korea melakukan “test like crazy”. Korea melakukan pengetesan swab throat secara masif dan gratis. Uniknya pelaksanaan tes dilakukan dengan konsep drive thru yang membuat orang bersangkutan tidak perlu keluar mobil.

Tercatat, Jumat (13/3) korea telah melakukan tes kepada 210.144 warganya yakni lebih kurang 0.4 persen dari total populasi mereka. Dengan hasil 7.979 kasus positif dan sisanya negatif. 

Meskipun menjadi salah satu negara yang paling parah selain China. Korea memperlihatkan angka penurunan kasus secara stabil selama empat hari berturut-turut. 

“Jumlah total kasus baru dikonfirmasi sedang mengalami penurunan tetapi ada kekhawatiran atas kasus infeksi massal masih berlanjut,” kata Wakil Direktur KCDC Kwon Jun-wook.

Saat ini perhatian global soal COVID-19 bergeser ke Italia dan Iran.

Italia lockdown seluruh kota akibat COVID-19


Italia dikatakan telat dua minggu memutuskan lockdown negara. Tapi paling tidak mereka melakukan hal besar untuk menyelamatkan negara-negara tetangganya di Eropa.

Wabah COVID-19 di Italia yang masih terpusat di wilayah Lombardia menyebar dengan cepat. Pada 25 Februari pemerintah Italia mengkonfirmasi sebanyak 322 kasus positif COVID-19. 

Dua minggu kemudian angka itu meningkat menjadi 10.000 kasus dengan 800 kematian pada Rabu (11/3). Hari itu juga, dikarenakan COVID-19 Italia memutuskan untuk melakukan lockdown seluruh kota (satu negara), setelah sebelumnya telah menutup total 11 kota saat masih 100 kasus.

Setelah lockdown 11 kota berubah menjadi lockdown seluruh negara. Italia juga mengeluarkan peraturan-peraturan ketat untuk masyarakatnya. 

- Dilarang melakukan pesta pernikahan besar-besaran.
- Dilarang melakukan upacara pemakaman besar.

Krisis di Italia ini membuat negara-negara lain di Eropa gentar. Jika melihat grafik peningkatan jumlah kasus, beberapa negara di Eropa—Spanyol, Prancis, Jerman, dan Inggris—memiliki alur yang sama dalam peningkatan kasus. 

Dikutip dari The Economist, pemerintah negara-negara ini sedang mengamati apakah langkah yang dilakukan Italia berhasil menekan penularan COVID-19.


Saat ini negara-negara Eropa dan Amerika lainnya masih memilih opsi menerapkan pembatasan pada beberapa hal. 

Amerika misalnya peraturan pembatasan diberlakukan di tingkat daerah atau negara bagian. Juga semakin banyak universitas yang diliburkan, termasuk Universitas Harvard. 

Negara lain yang memutuskan lockdown


Filipina menjadi salah satu negara yang mengambil keputusan berani dengan melakukan lockdown Ibu Kota Manila saat kasus mereka mencapai 52 pasien pada Kamis (12/3). Tingkat kewaspadaan ditingkatkan bukan karena kasus meningkat tapi juga karena telah terjadi penularan secara transmisi lokal.

Selain itu ada Irlandia dan Denmark yang telah mengumumkan status lockdown pada kota di negaranya sebagai langkah penanggulangan COVID-19.


Lockdown atau karantina kota memang bukan jaminan utama keberhasilan dalam menanggulangi COVID-19. Keefektifan penutupan kota atau negara ini tergantung pada beberapa hal lain salah satunya yakni sejauh mana peraturan dengan patuh diterapkan.***