Bukti Lemahnya Etika Netizen Indonesia di Medsos

Bukti Lemahnya Etika Netizen Indonesia di Medsos
Lihat Foto

WJtdoday, Jakarta - Insiden hilangnya Emmeril Khan Mumtadz, putra Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, di Sungai Aare, Swiss, tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarganya namun juga bagi masyarakat Indonesia.

Banyak warganet yang bersimpati terhadap keluarga Ridwan Kamil. Sayangnya, simpati justru melebar menjadi aksi warganet yang memberikan ulasan dan komentar buruk terhadap lokasi Sungai Aare di Google Maps.

Aksi warganet Indonesia itu bahkan jadi sorotan media lokal Swiss. Surat kabar 20 Minuten, misalnya, menyoroti ulasan negatif warganet Indonesia terhadap objek wisata Sungai Aare.

Ini bukan pertama kali aksi bully oleh warganet terjadi di dunia maya. Banyak artis tanah air yang pernah menjadi korban perundungan warganet. Dalam beberapa kasus, ada korban yang sampai melaporkan warganet yang melakukan perundungan terhadap dirinya ke polisi.

Contoh kejadian-kejadian yang di atas menunjukkan bahwa perkembangan teknologi tidak hanya dapat memudahkan terkoneksinya masyarakat dan akses informasi. Era informasi juga mengakibatkan pelanggaran nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat, yaitu etika dan moral.

Generasi milenial mendominasi pelanggaran etika di dunia maya
Menurut banyak penelitian, kebanyakan perilaku-perilaku bertentangan dengan nilai etika dan moral di dunia siber didominasi oleh remaja yang berasal dari generasi milenial. Mereka dianggap belum dapat mengontrol perilaku mereka di dunia maya.

Laporan smartinsights.com menunjukkan bahwa para pengguna media sosial didominasi oleh mereka yang berada dalam rentang usia 18-34 tahun.

Di tengah banyaknya manfaat yang diberikan oleh internet kepada peradaban manusia, termasuk dalam memenuhi kebutuhan generasi milenial, internet juga membuka ruang terhadap perpecahan sosial. Pasalnya, internet dapat mengubah secara radikal cara manusia berkomunikasi dan berpikir.

Generasi milenial cenderung menggunakan media sosial untuk mengekspresikan eksistensi mereka. Eksistensi ini ditunjukkan melalui kegiatan mereka di media sosial, seperti mengunggah gambar, video, komentar, dan ucapan. Mereka pun gemar melacak akun yang menarik perhatian mereka, bahkan mencari tahu informasi tentang teman meskipun mereka sudah tidak bicara untuk waktu yang lama.

Media sosial pada akhirnya membuat mereka menarik dirinya dari realitas untuk kemudian masuk ke dalam ruang virtual, di mana ego dan identitas dibangun dalam wujud artifisial. Imbasnya, pengingkaran akan setiap batas, hambatan, aturan, dan ideologi tidak dapat dihindari.

Manusia seakan dapat mengembara secara bebas di dalam dunia fantasi, halusinasi, dan ilusinya tanpa perlu ada pengendalian sosial, moral, spiritual, dan etika.

Maka tidak heran jika media sosial sangat lekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran etika, moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.

Hal-hal yang secara etika dapat merugikan orang lain, seperti menyebarkan ujaran kebencian, bullying, menyebarkan konten pornografi tanpa izin atau consent, menyebarkan berita palsu, melakukan penipuan, dan lain sebagainya sering dilakukan saat berselancar di internet.

Pentingnya “netika”
Netika (netiquette) atau etika di ruang siber (cyber-ethic) merupakan aturan dan tata cara penggunaan internet sebagai alat komunikasi atau pertukaran data antar-sekelompok orang dalam sistem yang tersedia internet.

Sama seperti aturan etika di dunia nyata, netika juga mendorong para pengguna untuk taat pada aturan etis dan moral – meskipun tidak tertulis – untuk menciptakan ruang bersama yang nyaman dan aman.

Oleh karena itu, netika menjadi hal yang sangat penting untuk benar-benar diterapkan karena proses komunikasi yang terjadi di media siber mereplikasi bentuk komunikasi di dunia nyata.

Sayangnya, fenomena pelanggaran etika dan moral di dunia maya ini tidak selalu dipahami dan diperhatikan dengan baik oleh institusi utama yang memberikan pendidikan etika, yakni sekolah, institusi agama, dan keluarga.

Itulah mengapa prinsip netika cenderung terabaikan, khususnya oleh generasi milenial. Mereka merasa ingin bebas dan menjadikan ruang siber sebagai ruang privasi – alih-alih ruang publik.

Beberapa panduan netika untuk generasi milenial
Teruntuk para pengguna media sosial, terutama para generasi milenial, berikut beberapa panduan yang perlu diperhatikan saat mengakses internet dan media sosial:

Pertama, pastikan setiap postingan kita tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman, baik secara fisik maupun emosional. Meski tidak ada kontak langsung dengan orang lain, ingatlah bahwa jejaring kita adalah manusia yang memiliki perasaan.

Kedua, jangan membuat ketegangan dengan orang lain. Kalau pun terjadi perdebatan, maka diskusikan gagasan dan idenya, bukan menyerang orangnya.

Ketiga, sebelum mengomentari atau mengunggah konten di media sosial, pilihlah kata-kata atau kalimat yang tepat dan berkorelasi dengan apa yang sedang dibahas atau diperdebatkan.

Keempat, hargai pendapat dan pandangan orang lain. Interaksi di media sosial adalah proses pertukaran ide dan gagasan, maka hargai setiap pendapat yang disampaikan oleh pihak-pihak yang berbeda.

Kelima, ingat bahwa tidak ada kebebasan berpendapat yang mutlak di internet. Kebebasan yang ditawarkan oleh dunia maya adalah kebebasan terbatas, dalam artian penggunanya dibatasi oleh nilai etika dan kemanusiaan.

Maka dari itu, batasilah diri untuk memilih mana yang akan kita posting dan mana yang tidak perlu. Berhati-hatilah dengan cara penyampaian kita, agar tidak terjebak dalam kejahatan siber.

Perlunya penguatan literasi digital
Pemerintah perlu mengintensifkan edukasi literasi digital pada masyarakat sehingga potensi pelanggaran etika, norma, dan nilai kebangsaan dapat diminimalisasi.

Dari sisi masyarakat sebagai pengguna, dibutuhkan kontrol individu dan keluarga dalam akses internet. Batasi penggunaan internet bagi anak-anak baik dari segi waktu maupun aplikasi yang dapat mereka akses.

Netika dapat menjadi panduan bagi netizen, khususnya generasi milenial dalam interaksi di media sosial. Etika dan dan aturan-aturan juga berlaku di dunia virtual meski hal itu tidak tertulis.***

Yuhdi Fahrimal, Dosen dan Peneliti Komunikasi, Universitas Teuku Umar.