Buka Tutup Ekspor Batu Bara, Cerminan Inkonsistensi Pemerintah

Buka Tutup Ekspor Batu Bara, Cerminan Inkonsistensi Pemerintah
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR Kardaya Wardika mengatakan, masalah domestic market obligation (DMO) merupakan sebagian kecil dari persoalan batu bara di Tanah Air. Sebab, yang paling utama adalah soal ketersediaan batu bara.

Dia mengutarakan, yang justru menjadi korban dalam gonjang-ganjing ini adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. 

Gonjang-ganjing yang dimaksud terkait dengan maju mundurnya pelarangan ekspor batu bara.

Diketahui, pemerintah pada Kamis (13/1/2022) kembali membuka keran ekspor batu bara secara bertahap, karena berdasarkan laporan PT PLN (Persero) stok batu bara sudah dalam kondisi aman. 

Padahal, sebelumnya Kementerian ESDM menyatakan, pelarangan ekspor masih berlaku hingga 31 Januari 2021.

"Kalau menurut saya yang jadi korban ada dua. Satu, Presiden. Dua, Menteri," kata Kardaya Wardika dalam rapat kerja dengan Menteri ESDM di Senayan, Jakarta, Kamis (13/1).

Menurut Kardaya, pada 3 Januari 2022 Presiden Jokowi telah menyampaikan bahwa ekspor batu bara disetop hingga akhir Januari. Namun, pernyataan Jokowi itu seperti tidak didengar anak buahnya. 

Nyatanya, kebijakan membuka keran ekspor telah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

"Tapi setelah itu ada yang mengatakan ekspor dibuka kembali. Yang mengatakan bukan Presiden. Jadi, kalau kata orang Jawa, Presiden itu bicara ito geni. Kalau bicara itu seperti peraturan. Sapto pandito ratu. Jadi ini kan, waduh kasian Presiden. Baru berapa hari itu dianulir," sebut Kardaya.

Dia juga mengatakan, Menteri ESDM Arifin Tasrif juga menjadi korban dari informasi yang disampaikan Direktur PLN Darmawan Prasodjo. Saat mengunjungi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling, Arifin menyebut stok batu bara masih dalam keadaan aman. Namun, tiga hari setelah pulang dari PLTA Saguling, terdengar kabar black out.

Baca juga: Menhub: Larangan Ekspor Batu Bara Dicabut Jika Stok Cukup

"Pak Menteri (Arifin) berani menyampaikan (stok batu bara aman) karena laangsung bertanya ke Dirut (Darmawan Prasodjo) dan Dirut baru lagi. Kalau baru kan biasanya melihat semangat gitu, tapi tiga hari kemudian menyatakan akan black out," katanya.

Kardaya pun menuding Dirut PLN Darmawan Prasodjo telah membohongi pemerintah. 

"Menurut saya, Dirut PLN membohongi pemerintah. Berat itu. Baru dikunjungi gak ada masalah, habis itu mau ada black out. Bagi sektor energi, black out adalah keadan yang paling parah. Aib dan segala macam," tandasnya.

Inkonsistensi Pemerintah

Pemerintah dinilai tak konsisten terkait kebijakan larangan ekspor batu bara. Pasalnya, larangan ekspor tersebut dicabut lagi tak sampai dua pekan setelah diberlakukan. Dalam keputusan awal, larangan itu akan berlaku satu bulan. 

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan, kecenderungan pemerintah yang kerap kali mencabut sebuah kebijakan dalam periode waktu yang singkat bisa berimbas pada efektivitas kebijakan. 

"Kami berharap ke depannya Kementerian ESDM juga mementingkan aspek konsistensi, jangan sampai nanti efektivitas dari kebijakan pemerintah itu menjadi rendah karena diputuskan di satu saat, tidak lama kemudian direvisi," kata Eddy, Selasa (11/1).

"Kita telah melihat hal ini dalam pengelolaan Covid-19 di awal. Jangan sampai masalah efektivitas kebijakan ini kemudian juga merambah sektor minerba (mineral dan batu bara), terkait suplai batu bara dalam negeri," ujar Eddy. 

Dia pun menilai pemerintah kurang tegas dalam menyikapi kebijakan pemenuhan suplai batu bara dalam negeri (domestic market obligation/DMO).

Ketentuan mengenai DMO tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 139.K/HK.02/MEM.B/2021. Ketentuan itu mengatur kewajiban pelaku usaha untuk memasok 25 persen dari total produksi batu baranya untuk kebutuhan dalam negeri. 

"Harus ada pengawasan ketat terhadap pemenuhan DMO batu bara. Oleh karena itu harus ada pengawasan yang betul-betul fokus harus menyeluruh dan harus ada mekanisme sanksi bagi mereka yang tidak memenuhi kebutuhan DMO tersebut," tegas Eddy.

Sementara, anggota Komisi VII Mulyanto mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan perhitungan yang lebih terukur sebelum mengambil sebuah kebijakan.

Ia menilai, masalah ketersediaan batu bara di dalam negeri tak hanya dipicu oleh perusahaan yang tak mematuhi kebijakan suplai batu bara dalam negeri atau DMO, namun juga ada permasalahan manajemen pengadaan batu bara oleh PLN. 

"Jangan sampai ketika pengusaha teriak termasuk juga negara-negara importir batu bara Indonesia, kita baru tergopoh-gopoh merespons dan mencabut pelarangan ekspor tersebut. Kondisi ini jelas akan merusak kewibawaan negara, baik di hadapan pengusaha dalam negeri maupun luar negeri. Kesannya pemerintah kita mudah diatur dan ditekan," pungkasnya.  ***